Saat umurnya 14 tahun, baru lulus SD, Wanhar Umar sudah harus jadi guru. Pasalnya, guru satu-satunya merangkap kepala sekolah di SD itu memasuki masa pensiun. Sang guru menunjuk Wanhar untuk menggantikan posisinya. Tidak ada warga di desa kecil itu, di wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan, yang berminat jadi guru.
Jadilah Wanhar guru yang mungkin paling muda dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, 'guru' Wanhar mengajar murid-murid yang notabene adik kelasnya. ''Mereka memanggil saya Pak Guru dan saya memanggil mereka anak-anak,'' ujar Wanhar tersenyum geli. Kini Wanhar sudah berusia 46 tahun dan masih terus mengajar di SD tersebut. Kondisi ekonomi menyebabkan dari 60 murid yang ada sekarang, banyak yang tidak mampu membayar uang sekolah. Padahal setiap bulan setiap murid 'cuma' ditagih uang sekolah 5.000 rupiah. Tapi bagi orangtua murid yang umumnya bekerja sebagai penyadap karet, jumlah itu toh terasa berat.
Maka tinggalah Wanhar, yang kini merangkap kepala sekolah, harus memutar otak untuk bisa melanjutkan pendidikan anak-anak di kampung itu. Dia tidak ingin anak-anak di desanya seperti dia, yang sampai sekarang hanya mengantongi ijasah SD. Untuk bisa bertahan, seusai mengajar, Wanhar mencari tambahan penghasilan sebagai buruh penyadap karet.
Kondisi sekolah juga sungguh memprihatinkan. Sekolah yang hanya memiliki dua kelas itu dinding kayunya sudah lapuk dan atapnya bolong-bolong. ''Kalau hujan basah semua,'' ujarnya. Saat ini Wanhar mengajar dibantu adik dan keponakannya yang diangkatnya menjadi guru. Keduanya tamatan SMU. Itupun karena 'dipaksa' mengajar oleh Wanhar. ''Sebab biasanya guru yang saya rekrut hanya bertahan beberapa bulan. Umumnya mereka lalu minta mundur,'' ujarnya. ''Mereka merasa tidak sanggup digaji 58.000 sebulan.''
Sementara itu, di Tangerang, Banten, seorang kepala sekolah mencari tambahan uang dengan memulung sampah. Setiap hari, sepulang mengajar, Mahmud, kepala sekolah itu, ganti baju dan mulai mengais-ngais sampah di tempat penampungan di dekat rumahnya. Beberapa koleganya, para guru, menganggap pilihan Mahmud sebagai pemulung untuk menutup kekurangan gaji itu merendahkan martabat profesi guru. ''Dengan jabatan sebagai kepala sekolah, saya pulang sudah sore. Sudah lelah. Kalau mau ngasih les, sudah tidak bisa konsentrasi. Bisa saja saya ngajar asal ngajar. Apa muridnya ngerti atau tidak yang penting dapat uang. Tapi saya tidak bisa seperti itu.'' Beberapa murid juga merasa keberatan. ''Masak kepala sekolah jadi pemulung. Kan harusnya hidup lebih layak. Kadang malu juga punya kepala sekolah pemulung,'' ujar salah satu siswa. Kisah Mahmud, kepala sekolah yang jadi pemulung ini juga pernah diangkat dalam film dokumenter yang kemudian terpilih sebagai film terbaik Eagle Award 2007 yang diselenggarakan Metro TV.
Dari Malang, Jawa Timur, seorang guru fisika terpaksa memutar otak untuk menciptakan alat-alat peraga fisika ketika mengajar. Keterbatasan dana sekolah menyebabkan dia tidak bisa membeli alat-alat perga yang relatif mahal. Pantang menyerah, Tjandra, guru kreatif itu, lalu 'menciptakan' alat-alat peraga dari barang-barang bekas. Misalnya, dia menciptakan kompas dari jarum bekas dan kertas. ''Modalnya tidak sampai 500 rupiah,'' ujarnya bangga. Sampai sekarang sudah 26 alat peraga diciptakannya. Materi untuk membuat alat-alat peraga itu diburunya di pasar-pasar loak di kotanya. ''Keterbatasan dana jangan jadi hambatan. Apalagi dengan merekayasa barang-barang bekas dan mengajarkannya dengan cara yang menyenangkan, murid-murid jadi suka sama mata pelajaran fisika,'' ujar Tjandra.
Kisah Katarina, remaja berusia 16 tahun, yang harus putus sekolah dan jadi TKW di Malaysia. Di desanya, Dusun Mangkau, Etikong, Kalimantan Barat, pendidikan berhenti pada tingkat SD. ''Tidak ada SMP di desa saya,'' ujarnya.
Kisah Katarina dan kondisi pendidikan yang menyedihkan di desa perbatasan Malaysia itu diangkat dalam film dokumenter berjudul 'Ketika Sang Saka Tidak Lagi Berkibar'. Film ini menyabet penghargaan 'film dengan ide cerita terbaik' Eagle Award 2007. Mereka berbagi cerita, tentang sebuah potret pendidikan yang mengenaskan. Tapi mereka pantang menyerah. Mereka orang-orang yang mampu menginspirasi kita. (kickandy)
Jadilah Wanhar guru yang mungkin paling muda dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, 'guru' Wanhar mengajar murid-murid yang notabene adik kelasnya. ''Mereka memanggil saya Pak Guru dan saya memanggil mereka anak-anak,'' ujar Wanhar tersenyum geli. Kini Wanhar sudah berusia 46 tahun dan masih terus mengajar di SD tersebut. Kondisi ekonomi menyebabkan dari 60 murid yang ada sekarang, banyak yang tidak mampu membayar uang sekolah. Padahal setiap bulan setiap murid 'cuma' ditagih uang sekolah 5.000 rupiah. Tapi bagi orangtua murid yang umumnya bekerja sebagai penyadap karet, jumlah itu toh terasa berat.
Maka tinggalah Wanhar, yang kini merangkap kepala sekolah, harus memutar otak untuk bisa melanjutkan pendidikan anak-anak di kampung itu. Dia tidak ingin anak-anak di desanya seperti dia, yang sampai sekarang hanya mengantongi ijasah SD. Untuk bisa bertahan, seusai mengajar, Wanhar mencari tambahan penghasilan sebagai buruh penyadap karet.
Kondisi sekolah juga sungguh memprihatinkan. Sekolah yang hanya memiliki dua kelas itu dinding kayunya sudah lapuk dan atapnya bolong-bolong. ''Kalau hujan basah semua,'' ujarnya. Saat ini Wanhar mengajar dibantu adik dan keponakannya yang diangkatnya menjadi guru. Keduanya tamatan SMU. Itupun karena 'dipaksa' mengajar oleh Wanhar. ''Sebab biasanya guru yang saya rekrut hanya bertahan beberapa bulan. Umumnya mereka lalu minta mundur,'' ujarnya. ''Mereka merasa tidak sanggup digaji 58.000 sebulan.''
Sementara itu, di Tangerang, Banten, seorang kepala sekolah mencari tambahan uang dengan memulung sampah. Setiap hari, sepulang mengajar, Mahmud, kepala sekolah itu, ganti baju dan mulai mengais-ngais sampah di tempat penampungan di dekat rumahnya. Beberapa koleganya, para guru, menganggap pilihan Mahmud sebagai pemulung untuk menutup kekurangan gaji itu merendahkan martabat profesi guru. ''Dengan jabatan sebagai kepala sekolah, saya pulang sudah sore. Sudah lelah. Kalau mau ngasih les, sudah tidak bisa konsentrasi. Bisa saja saya ngajar asal ngajar. Apa muridnya ngerti atau tidak yang penting dapat uang. Tapi saya tidak bisa seperti itu.'' Beberapa murid juga merasa keberatan. ''Masak kepala sekolah jadi pemulung. Kan harusnya hidup lebih layak. Kadang malu juga punya kepala sekolah pemulung,'' ujar salah satu siswa. Kisah Mahmud, kepala sekolah yang jadi pemulung ini juga pernah diangkat dalam film dokumenter yang kemudian terpilih sebagai film terbaik Eagle Award 2007 yang diselenggarakan Metro TV.
Dari Malang, Jawa Timur, seorang guru fisika terpaksa memutar otak untuk menciptakan alat-alat peraga fisika ketika mengajar. Keterbatasan dana sekolah menyebabkan dia tidak bisa membeli alat-alat perga yang relatif mahal. Pantang menyerah, Tjandra, guru kreatif itu, lalu 'menciptakan' alat-alat peraga dari barang-barang bekas. Misalnya, dia menciptakan kompas dari jarum bekas dan kertas. ''Modalnya tidak sampai 500 rupiah,'' ujarnya bangga. Sampai sekarang sudah 26 alat peraga diciptakannya. Materi untuk membuat alat-alat peraga itu diburunya di pasar-pasar loak di kotanya. ''Keterbatasan dana jangan jadi hambatan. Apalagi dengan merekayasa barang-barang bekas dan mengajarkannya dengan cara yang menyenangkan, murid-murid jadi suka sama mata pelajaran fisika,'' ujar Tjandra.
Kisah Katarina, remaja berusia 16 tahun, yang harus putus sekolah dan jadi TKW di Malaysia. Di desanya, Dusun Mangkau, Etikong, Kalimantan Barat, pendidikan berhenti pada tingkat SD. ''Tidak ada SMP di desa saya,'' ujarnya.
Kisah Katarina dan kondisi pendidikan yang menyedihkan di desa perbatasan Malaysia itu diangkat dalam film dokumenter berjudul 'Ketika Sang Saka Tidak Lagi Berkibar'. Film ini menyabet penghargaan 'film dengan ide cerita terbaik' Eagle Award 2007. Mereka berbagi cerita, tentang sebuah potret pendidikan yang mengenaskan. Tapi mereka pantang menyerah. Mereka orang-orang yang mampu menginspirasi kita. (kickandy)
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,