
JOMBANG – Kendati Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) wilayah Sub Divre II Surabaya Selatan sudah berjanji bakal membeli Harga gabah dari petani sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sesuai dengan Inpres No 3 Tahun 2007. Namun, kenyataannya rekanan petani ini malah membeli harga gabah di wilayah Kabupaten Jombang jauh dibawah HPP.
Harga gabah yang di patok Bulog untuk petani di wilayah Kab Jombang, saat ini sudah tidak mencapai standart yang ditetapkan. Harga gabah di beberapa wilayah seperti Kecamatan Kudu, Mojowarno, Perak, Kesamben, Jogoroto serta beberapa Kecamatan lainnya berkisar antara Rp. 1.700,- hingga Rp. 1.800,- anjloknya harga gabah tersebut terjadi sejak berlangsungnya masa panen pada 4 minggu yang lalu.
Diskusi yang bertema "Anjloknya Harga Gabah Saat Musim Panen" yang bertempat di radio (komunitas) Gombrek FM, Desa Sidokerto Kec Mojowarno Kab Jombang Rabu (19/3) malam kemarin, diketahui bahwa salah satu penyebab tidak stabilnya harga gabah ditingkat petani itu lebih dikarenakan peran dari Bulog sendiri yang belum sepenuhnya menunjukkan perbaikan, sehingga yang dirasakan oleh petani hanya kerugian dan kerugian.
"Sampai saat ini, peran lumbung gabah/beras alias Bulog itu sendiri belum efektif, buktinya harga dari petani masih bisa dipermainkan," kata M. Subhan, salah seorang narasumber.
Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU Cabang Jombang ini juga mengatakan, jika rekanan Bulog yang ada di daerah cenderung mempermainkan harga. Faktor himpitan ekonomi yang melanda petani serta masih berlangsungnya musim hujan, membuat para petani begitu mudah ditekan oleh para tengkulak.
"Yang membikin harga jatuh justru para rekanan bulog, kenapa bisa, ternyata para rekanan Bulog itu banyak mengambil (gabah) dari luar," ungkap Alumni Politeknik Universitas Negeri Jember ini.
Sementara, Idrus (32) salah satu petani asal Desa Janti Kecamatan Mojoagung ini juga menyesalkan, jika prilaku para rekanan Bulog di wilayah Jombang saat ini cenderung mengabaikan kualitas gabah para petani Jombang.
"Mitra bulog tidak bisa mengakar ke bawah, mereka beli gabah dari luar (daerah) dan menganggap kadar gabah Jombang jelek, ini khan menghina," kata pria bertubuh kekar ini berapi-api.
Menaggapi hal ini, Hadi Purnomo, Kepala Seksi Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Jombang, mengatakan, bahwa terjadinya ketidakstabilan harga ditingkat petani ini memang terjadi di beberapa wilayah baik Jombang maupun di daerah lainnya. Anjloknya harga gabah di bawah standart HPP merupakan fenomena yang sering muncul.
"Dari data yang kami ketahui langsung berdasarkan survey di lapangan dengan petugas Bulog beberapa waktu lalu, harga gabah memang pernah di bawah Rp. 2.000,- yaitu Rp. 1.800,- untuk gabah kering panen (GKP)," ungkap Hadi.
Lebih dalam, Awaluddin Iqbal, Wakil Bulog Sub Divre Surabaya Selatan yang ketika itu datang sebagai pembicara, membantah jika anjloknya harga gabah dibawah standart HPP yang ditetapkan pemerintah itu lebih dipicu oleh ulah para mitra kerja Bulog. Menurutnya, para rekanan Bulog lah yang terbukti melakukan pelanggaran dengan mempermainkan harga ditingkat petani.
"Saya berpikir positif saja kalau memang tidak ada bukti dan informasi yang valid. Tapi, menurutn ketentuan kita, jika ada mitra kerja kita yang membeli dengan harga dibawah HPP tidak akan diberi kontrak lanjutan dan akan dievaluasi sebagai mitra, itu sudah jelas aturannya," tegas pria berkacamat ini.
Ditambahkan Iqbal-panggilan akrab Awaluddin Iqbal, bahwa utnuk mengamankan harga pihaknya meminta masyarakat untuk tetap berani melakukan kontrol dan pengawasan untuk menjaga agar harga gabah tetap bisa stabil. Menurutnya, tanpa ada bantuan dari mayarakat HPP tidak akan berjalan sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.
"siapapun saja untuk bisa menghubungi kepada kita, apabila di wilayahnya ada indikasi harga (gabah) itu di bawah HPP," tandasnya.
Terpisah, Didik Kurniawan, Ketua Dewan Tani Indonesia (DTI) Jombang, mengatakan, bahwa ketidak stabilan harga gabah ditingkatan petani merupakan fenomena yang klasik, artinya, bahwa pengawasan yang selama ini digembor-gemborkan oleh Bulog baik itu melalui pembentukan tim Sosialisai Monitoring dan Evaluasi (Sosmonev) ADA Gabah 2007-2008 tidak pernah berjalan maksimal.
"Sosmonev sudah pernah terbentuk, tapi bulog sendiri masih canggung untuk menerapkannya. Kalau sikap bulog seperti ini terus, kondisi petani bisa bangkrut, sehingga bisa mempengaruhi penyempitan lahan pertanian itu sendiri,” Pungkasnya. (amer)
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,