Jombangnesia - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung yang mulai dilaksanakan pada pertengahan 2008 di Jombang, justru semakin mengekalkan "oligarki kekuasaan" di tingkat lokal/kecamatan.
Hal itu terlihat pada suasana semarak penyambutan yang dilakukan oleh beberapa jajaran SKPD se Jombang, mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh sekelompok 'kuli tinta' setempat (tidak sekedar mementingkan kebutuhan perut), menunjukkan bahwa Pilkada yang bakal di gelar 23 juli nanti justru mendorong semakin merebaknya praktik "shadow state" dan praktek "informal economy".
Seperti yang terjadi di wilayah Mojoagung, di mana ada aktor di dalam sturktur ketatanegaraan juga berfungsi menjadi kepanjangan tangan kekuatan kekuasaan. Pemerintahan tingkat kecamatan di Jombang, justru memiliki otoritas tinggi mengatur hubungan-hubungan hingga proyek-proyek.
Modus yang seringkali dipakai adalah dengan menggunakan otoritas bayangan pada beberapa aktor yang juga menjabat anggota DPRD dimana hanya melalui oknum tersebut proses-proses tender atau hubungan dengan pengusaha bisa dilakukan. Di Bengkulu, otoritas bayangan itu dipegang oleh staf khusus yang dibentuk gubernur/bupati yang terdiri atas teman-teman dekat gubernur, mantan tim sukses atau para pakar.
Selain otoritas bayangan di luar struktur yang membuat Otoritas Formal mengalami ketidakberdayaan pasca-Pilkada, juga terjadi praktik "informal economy" berupa manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha, transaksi bawah tangan dalam tender proyek hingga swatanisasi aset negara.
Praktik-praktik ini, menurutnya, terjadi sebagai kompensasi dari "investasi politik dan ekonomi" yang ditanam para tokoh atau pengusaha pada saat proses Pilkada, termasuk tuntutan atas jabatan-jabatan basah seperti Sekda, Asisten III, atau Kadis Kimpraswil.
"Untuk mencapai kemenangan sebagai pasangan otoritas Bupati-Wabup tentu memerlukan modal hubungan-hubungan politik dan puluhan miliar dana, yang ke depannya bakal menuntut kompensasi," ujarnya.
Menurut dia, praktik-praktik seperti ini juga terjadi di negara-negara demokrasi lainnya seperti Amerika Serikat (AS), namun di AS, institusi pengawasan dalam pemilihan sudah berjalan baik sehingga praktik-praktik liar seperti yang terjadi di Indonesia tidak terjadi di sana.
"Di sana (AS) sudah ada peraturannya bahwa tokoh politik, pengusaha dan lain-lain boleh memberi dukungan tetapi tak bisa menuntut kompensasi. MOU/ pernyataannya pun ditandatangani kedua pihak. Sementara di Indonesia masih sebatas harapan," tukasnya.
Sekedar catatan, fenomena yang terjadi di Kabupetan Jombang mensyaratkan bermunculannya kekuatan kekuasaan yang berpotensi besar terjadi oligarki. Disepanjang jalan raya pasti kita dapat saksikan, banyak Baliho-baliho Bupati terpasang di semua SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), lantaran hanya ingin maju kembali di pentas 23 juli mendatang. (ami)
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,