Langsung ke konten utama

Naumi dan Elia, Potret Buram Dua Generasi di Jombang

Makan Nasi Aking Karena Tak Mampu Beli Beras

Di tengah kesibukan beberapa partai politik di Jombang mengusung bakal calonnya memenangi pilkada pertengahan tahun ini, termasuk konsentrasi Bupati Suyanto maju lagi dalam even suksesi lima tahunan untuk kali kedua, ada sepenggal kehidupan rakyatnya yang mengenaskan. Apa itu?

JOMBANG (DUTA) - Sisa embun terakhir yang menggantung di pucuk dedaunan yang berbaur dengan rinai terakhir semalam, membuat pagi di Dusun Panemon Desa Bakalan Rayung Kecamatan Kudu Kabupaten Jombang, terlihat lebih lengang. Mendung yang bergelayut di atas langit dusun kian menambah kawasan di utara Sungai Brantas itu seperti mati suri.
Di sudut desa Panemon, seorang wanita paruh baya duduk di depan pintu rumah. Wajahnya kusut masi di tengah kesibukannya mengeringkan nasi sisa-sisa makanan yang dia minta dari tetangga rumah sebelah dua jam lalu.
Dia adalah Naumi, perempuan berusia 50 tahun yang tinggal bersama putri satu-satunya Elia. Sejak ditinggal mati suaminya lima tahun lalu, kondisi ekonomi keluarga Naumi jadi tak menentu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia dan anak semata wayangnya yang kini menginjak 9 tahun, Naumi menjual tusuk sate ke Pasar Tapen yang tak jauh dari rumahnya. Dari hasil berjualan itu sehari-hari dia hanya dapat uang tak lebih dari Rp 3 ribu.
Untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya Naumi terpaksa harus mengirit dengan makan nasi aking (nasi yang dikeringkan). Sisa nasi itu dia peroleh dari para tetangga yang nasinya lebih karena tak habis dimakan seharian, meski sudah dimakan satu keluarga.

Hidup Irit di Tengah Perut yang Lapar

Ternyata apa yang dialami Naumi dan anak perawan kencurnya Elia tidak sendirian. Di Desa Bakalan Rayung ini diperkirakan masih ada puluhan warga lainnya yang setiap hari harus bertahan hidup di tengah perut yang lapar. Siapa yang harus disalahkan?

Untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya Naumi terpaksa harus mengirit dengan makan nasi aking (nasi yang dikeringkan). Sisa nasi itu dia peroleh dari para tetangga yang nasinya lebih karena tak habis dimakan seharian, meski sudah dimakan satu keluarga. Sementara, dia hanya memasak nasi beras untuk anaknya Elia. “Bagaimanapun dia harus makan nasi beras. Dia tidak boleh makan nasi aking. Cukup saya saja,” kata perempuan yang wajahnya nampak jauh lebih tua dari umur sebenarnya.
“Tapi jika ada duit kami cuma makan nasi aking empat hari saja. Selebihnya saya makan beras murah,” ujarnya getir.
Naumi memilih mengonsumsi nasi aking, karena memang harganya cukup murah yaitu Rp 500 per kilonya. Sedangkan harga beras paling murah yang beredar dipasaran kini rata-rata Rp 4.000 perkilonya. “Walaupun rasanya hambar, tapi itu lebih baik daripada kelurga kami enggak bisa makan,” ucap Naumi sembari menyeka keringat di wajahnya dengan sudut kebayanya yang sudah lusuh.
Pantauan Duta, di Desa Bakalan Rayung, ternyata bukan cuma keluarga Naumi saja yang mengkonsumsi nasi aking. Cukup banyak keluarga lain yang juga mengelola makanan serupa. Bahkan, dari 1.000 keluarga yang menetap di Desa Bakalan Rayung, diperkirakan ada puluhan keluarga yang sehari-hari mengkonsumsi nasi aking.
“Mayoritas warga di desa sini miskin, jadi makan nasi aking adalah hal yang sudah biasa. Bahkan, sebagian warga ada yang cuma makan nasi aking dengan lauk cabe mentah saja,” kata Ponirah, warga lainnya.
Supono, Kepala Desa Bakalan Rayung, mengakui bahwa mayoritas warganya memang miskin. Umumnya mata pencarian warga sekitar adalah buruh kasar musiman, petani, dan pedagang kecil. Bahkan, ada sebagian warga yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan.
Tak heran, jika di desa tersebut banyak warga yang terpaksa makan nasi aking untuk dapat bertahan hidup. Selain membeli nasi aking dari pedagang, ada juga warga yang sengaja meminta nasi sisa tetangga, kemudian menjemurnya hingga kering sebelum dimasak kembali. (amer syarifuddin) / http://www.dutamasyarakat.com/rubrik.php?id=25615&kat=Daerah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Korban Ryan Tembus 11 Orang

Polisi akan menjerat Ryan dengan pasal hukuman mati. JOMBANG -- Halaman belakang rumah Very Idam Henyansyah (34 tahun) tak ubahnya kuburan massal. Sampai dengan Senin (28/7), 10 jenazah ditemukan di sana. Dengan demikian, korban pembunuhan yang dilakukan Ryan telah 11 orang. Bertambahnya jumlah korban pria gemulai itu diketahui setelah dilakukan penggalian lanjutan di belakang rumah Ryan di Desa Jatiwates, Kec Tembelang, Kab Jombang, Jawa Timur. Kemarin, polisi menemukan enam jenazah. Pada penggalian sebelumnya, polisi menemukan empat jenazah. Keberadaan enam mayat itu diketahui saat Ryan diperiksa di Markas Polda Jawa Timur. Ryan lalu digiring untuk menunjukkan lokasinya. Penggalian pun dilakukan delapan jam, mulai pukul 10.00 WIB. Ryan berada di lokasi dengan tangan dan kaki diborgol. Kepada polisi, kata Kapolda Jatim, Irjen Pol Herman Sumawireja, Ryan mengatakan masih ada lima mayat. ''Tapi, kami menemukan enam,'' katanya saat menyaksikan penggalian. Mayat-mayat itu ...

Jelang Eksekusi Mati, Sumiarsih Isi Waktu Latih Napi Bikin Selimut

Kendati hendak di eksekusi mati. Sumiarsih , 65 , otak pembunuhan berencana lima anggota keluarga Letkol Marinir Purwanto di Surabaya, 20 tahun silam, nampak pasrah menghadapi rencana eksekusi Kejagung bulan ini. Bahkan sesekali ia terlihat tegar bersama rekan-rekannya di LP Porong, dengan melakukan kegiatan membuat selimut dari tempat tisu. Dengan mengenakan seragam Napi (narapidana) Lapas Wanita Malang warna biru tua, mata Sumiarsih tampak sayu. Demikian pula wajahnya yang dihiasi garis-garis keriput juga terlihat lelah dan sayup. Namun, Mbah Sih, panggilan akrab- Sumiarsih di antara sesama napi, tetap ingin tampil ramah. "Saya habis bekerja di Bimpas (Bimbingan Pemasyarakatan). Bersama rekan-rekan membuat tempat tisu ini," kata Sumiarsih sambil menunjukkan beberapa hasil karyanya di ruang kantor Entin Martini, kepala Lapas Wanita Malang, yang berlokasi di kawasan Kebonsari, Sukun, itu. Sudah tiga bulan ini Sumiarsih aktif membimbing para wanita penghuni lapas membua...

galeri 1000 Puisi Untuk RA KARTINI

FOTO : DUTA/AMIR CASTRO Captoin : SIMBOL PERLWANAN KARTINI MELAWAN PENINDAS FEODAL. Sejumlah mahasiswa STKIP PGRI Jombang, peringati Hari Kartini dengan memajang karya mereka dalam tema 1000 Puisi Untuk RA KARTINI.