Sugeng, 45, terpidana mati kasus pembunuhan lima anggota keluarga Letkol Mar Purwanto, mengaku siap menghadapi regu tembak. Namun begitu, ia mengaku merindukan ibunya, Sumiarsi, 65, yang sudah lima tahun tak bertemu. Meski keduanya juga akan dieksekusi bulan ini. Bahkan, sesekali dia nampak bercanda dan tertawa dengan memamerkan model cukuran rambut barunya itu.
"Ya, ini potongan baru. Biar kelihatan lebih segar. Masak saya mau masuk TV kok kumus-kumus (kusut, Red)," ujar Sugeng saat ditemui wartawan di Lapas Porong, kemarin.
Pria kelahiran Jombang, Jatim, 15 September 1964, itu terlihat tegar meski namanya masuk daftar lima terpidana mati yang akan dieksekusi bulan ini. Penghuni blok D Lapas Porong itu juga masih bisa tersenyum saat diajak bercanda.
Sugeng sadar, sejak ada pemberitaan tentang rencana eksekusi untuknya, bakal banyak wartawan yang akan memburu dirinya. Hal seperti itu pernah dia alami pada 2003. Saat permohonan grasi yang diajukannya ditolak Presiden Megawati.
"Saya katakan ke Pak Kepala Lapas Porong (Kusnin), pasti banyak wartawan yang akan menemui saya," ucapnya.
Di balik keceriaan itu, duda tanpa anak itu mengaku kecewa. Sebab, sebelumnya dia hanya mendengar soal grasinya ditolak. Bukan rencana eksekusi. Dia baru mendengar kabar mengagetkan itu pada 2 Juli lalu justru dari media massa. "Saya prihatin. Ada rasa gelo (kecewa)," ujarnya.
Menurut dia, dirinya telah menebus kesalahan yang pernah dilakukan dengan menjalani pidana penjara hampir 20 tahun (ditahan 17 Agustus 1988). Itu berarti hukuman badan yang dijalani sudah masuk kategori maksimal. "Kalau saya dieksekusi, berarti saya menjalani dua hukuman. Hukuman pidana 20 tahun dan (eksekusi) mati," katanya.
Menurut dia, berada di penjara dalam waktu selama itu tidaklah gampang. Dia menyesali perbuatan pembunuhan berencana yang dilakukan bersama ibu (Sumiarsih), ayah tiri (Djais Adi Prayitno, meninggal karena sakit di lapas), dan adik ipar (Sersan Dua (pol) Adi Saputro, sudah dieksekusi) dengan menjadi warga binaan yang baik.
"Selama 20 tahun saya selalu mematuhi segala aturan yang ditetapkan lembaga pemasyarakatan," tuturnya.
Mantan penghuni Lapas Nusakambangan itu tidak menyangka bahwa grasinya juga akan ditolak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awalnya dia justru berpikiran grasi yang diajukan akan diterima. "Soalnya yang datang ke lapas mencari saya staf setneg (sekretariat negara). Bukan jaksa seperti biasanya," kata Sugeng.
Dia ingat betul detik-detik mendebarkan saat dipanggil Kalapas Kusnin pada 10 Juni lalu. Perasaan campur aduk bergejolak di dalam dadanya. "Ternyata grasi saya ditolak lagi," ucap Sugeng dengan lirih.
Usai mengatakan itu, mata Sugeng yang pernah menjadi penghuni Blok X Kamar No 3 Lapas Lowokwaru, Malang, tampak berkaca-kaca. Dia terdiam sejenak sambil membetulkan letak sepasang sandal jepit bertali biru di kakinya. "Mudah-mudahan masih ada upaya hukum lagi. (Saya berharap) ada perubahan (hukuman)," katanya, kemudian tersenyum.
Sugeng yakin masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh. Dia mengaku hingga saat ini belum mengetahui soal grasi yang diajukannya pada 2003. Grasi itu dilakukan sebelum penolakan grasi dari Presiden Megawati turun. "Kami tidak tahu apakah penolakan grasi kali ini untuk grasi yang saya ajukan pada 2003 atau grasi yang diajukan oleh Wati (adik Sugeng, Rose Mei Wati Astuti)," katanya.
Ketidakjelasan itu pula yang membuat Sugeng masih optimistis. Dia yakin masih ada kesempatan untuk mengubah hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Saat ini pun, tim kuasa hukumnya telah mempersiapkan surat permohonan penangguhan eksekusi. Dua hari lalu surat itu telah disusun. "Saya sadari saya salah. Ya, ini akibat perbuatan saya. Tapi, saya berusaha untuk memperbaiki diri," katanya.
Hingga kini dia melakukan berbagai kegiatan positif selama di dalam penjara. Mulai merawat tanaman, memelihara ikan, hingga membuat kerajinan miniatur kendaraan dari kayu. "Saya senang diberi kepercayaan oleh lapas. Punya banyak aktivitas," ujarnya. "Kalau tidak memiliki pekerjaan, mungkin saya sudah gila memikirkan eksekusi mati," katanya lantas tertawa.
Di Lapas Porong, Sugeng dipercaya untuk merawat ratusan tanaman. Berkat tangan dinginnya, saat ini ada 53 bunga kamboja dan 100 batang bugenvil yang tertata apik di dalam lingkungan blok. "Kami juga sedang mengembangkan tanaman hias. Seperti gelombang cinta ini," ujarnya sambil menunjuk tanaman berdaun lebar yang terkenal mahal itu.
Sebelum masuk penjara, Sugeng memang pernah bekerja sebagai tukang taman di sebuah hotel di Surabaya. Dia pandai membentuk bonsai. "Kalau soal menyiram, teman-teman (napi) lain bisa. Tapi, untuk membentuk bonsai atau stek jarang yang bisa," katanya.
Kalau dia jadi dieksekusi, Sugeng malah mengkhawatirkan nasib tanaman yang telah dibesarkannya. "Saya kepikiran. Saya juga tidak tega makan ikan yang saya budidayakan sendiri di lapas. Waktu mau makan mesti brebes mili (menangis)," kata penyuka pepes pindang itu.
Saat ini Sugeng memiliki satu keinginan, yaitu bertemu dengan ibu kandungnya, Sumiarsih, yang kini mendekam di Lapas Wanita Malang, yang bulan ini rencananya juga akan dieksekusi. "Sudah lima tahun saya tidak bertemu Ibu," ucapnya.
Sugeng mengakui kadang dia bisa menyapa sang ibu lewat telepon penjara. Namun, hal itu pun jarang dilakukan karena untuk menelepon juga membutuhkan uang. "Saya ingin memberikan semangat kepada Ibu. Supaya tetap tegar dan sabar. Kalau boleh memilih, kami ingin mati secara alami. Tidak mati di tangan regu tembak," katanya.(maya apriliani/amir castro)
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,