JOMBANG – Melambungnya harga kebutuhan pokok yang diakibatkan dari dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) satu bulan yang lalu, membuat sejumlah kaum ibu yang ada di Kabupaten Jombang kelimpungan.
Mereka harus memutar otak agar bisa membelanjakan uang hasil kerja kerasnya, guna mencukupi kebutuhan keluarga. Praktis, uang senilai Rp. 20 ribu yang dulunya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, kini hanya cukup sekedar buat makan saja, bahkan cenderung berkurang.
Siti Aminah (65), seorang nenek renta yang mengharapkan hasil kerja sebagai buruh tani musiman, asal Desa Mojokambang, Kecamatan Bandar Kedungmulyo Kab Jombang ini, mengaku upahnya sebesar Rp 20.000 sehari yang ia peroleh itu, hanya bisa digunakan untuk makan sehari-hari saja. Bahkan hidupnya yang tidak ditemani oleh sanak kerabatnya ini mengaku masih harus mengirit, jika cadangan makanan untuk hari esok tidak ada.
Uang belanja Rp 20.000 per hari, menurutnya, hanya cukup untuk membeli satu Kilogram beras seharga Rp 6.000, seperempat minyak goreng senilai Rp 4.500, dan seliter minyak tanah Rp 3.200.
“Sisanya tinggal Rp 6.300, saja, itupun hanya cukup untuk beli sayur. Kalau mau makan lauk, ya hanya tempe. Kalau masih ada sisa Rp 3.000 dari upah bekerja, itu disimpan sebagai uang cadangan, guna keperluan reparasi perabot rumah yang sudah kadaluwarsa,” ucapnya lirih.Meski Mbok Minah-panggilan akrab-Siti Aminah, tidak sendirian merasakan hal yang sama, saat terjadi gejolak naiknya harga kebutuhan pokok akibat imbas dari kenaikan harga BBM. Namun, ia tetap tegar dan bandel untuk melakukan pekerjaan yang tergolong membutuhkan tenaga ekstra itu.
“Kalau tidak bekerja di sawah, mau kerja dimana lagi Le (sebutan anak laki-laki)?. Masih mending begini dari pada harus mengemis,” panggilnya ketus.
Seperti yang lainnya, beberapa kaum ibu juga merasakan gejala yang sama sejak pemerintah menetapkan harga BBM sebesar 28,7% itu. Kebanyakan dari mereka mengaku harus mengerem pengeluarannnya. Bahkan, sesekali mereka harus tega, memangkas uang saku anak mereka hingga 30 persen.
“Intinya harus pintar menyiasati agar dapur tetap ngebul. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa makan?,” tambah Juminten (54), seorang ibu yang biasa berjualan Tahu Goreng di kawasan simpang tiga Jombang dengan nada tanya.
Tak hanya itu saja, imbas kenaikan BBM yang disusul melambungnya harga kebutuhan pokok, seperti beras, minyak, lauk-pauk, dan lain sebagainya, hal itu juga menyebabkan kaum ibu di wilayah Kecamatan Peterongan terpaksa memasak dengan kayu bakar. Padahal, dengan menggunakan kayu bakar otomatis tenaga yang harus dikeluarkan oleh para ibu tersebut cenderung lebih besar.
Sunarti (40) misalnya, warga asal Desa Bongkot, Kecamatan Peterongan Jombang, yang mengaku selama seminggu terakhir ini pengeluarannya mengalami pembengkakan. Sejak sepekan yang lalu saat ia masih memakai minyak tanah. Penghasilan yang di dapatkan dari hasil kerja suaminya sebagai kuli bangunan dengan upah Rp 20.000 perhari. Masih dirasa belum cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya.
“Kalau masih memakai Minyak Tanah, sehari pengeluaran saya bisa sampai Rp 18.000. Jadi, untuk menyiasati, akhirnya saya pakai kayu bakar untuk memasak. Tapi itu harus dibayar dengan tenaga ekstra. Karena saya harus mencarinya ke kebun terlebih dulu. Sehingga waktu yang seharusnya di buat untuk bekerja harus terbuang hanya untuk mencari kayu bakar,” katanya.
Menurut ibu yang bekerja sebagai penjaja kue keliling ini, kesulitan ekonomi sekarang ini cukup membebankan ibu rumah tangga, karena lonjakan harga-harga kebutuhan keluarganya mengalami peningkatan secara drastis.
“Pekerjaan susah, barang-barang mahal, cari duit juga langka. Mau hidup gimana lagi,” ucap Sunarti dengan nada mengeluh.
Untuk itu, pihaknya sangat berharap kepada pemerintah agar memahami kesulitan yang di dera oleh kaum ibu itu. Yang terpenting baginya, bagaimana kebutuhan pokok yang terus merangkak naik ini segera dihentikan.
“Harapan kami, ya semestinya pemerintah segera mengambil langkah. Sehingga masalah-masalah terkait kebutuhan pokok yang kami hadapi ini bisa teratasi,” ucap Sunarti.
Kendati demikian, ia tetap berharap BLT yang bakal dijanjikan sebagai kompensasi pengalihan subsidi BBM secepatnya ia terima. Pasalnya, ia sangat mengharapkan bantuan BLT tersebut yang sampai hari ini tak kunjung mampir kerumahnya itu.
“Tahun 2005 saya juga tidak dapat, meski rumah saya reot kayak gini, mudah-mudahan saja ditahun ini kita mendapatkan bantua itu,” harapnya cemas.
Relitas seperti ini lah, yang kadang terlupa oleh kejamnya kebijakan pemrintah. Birokrasi sekan semau sendiri meminta kenaikan gaji, tunjangan. Bahkan ketika ia duduk d ikursi empuk dia tetap melupakan tanggung jawabnya sebagai pengabdi rakyat.(ami)
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,