
Pandangan Abdul Mongid bahwa menaikkan harga BBM saat ini sudah merupakan keharusan sebagai upaya menyelamatkan (perekonomian nasional/krisis BBM) negeri ini memiliki kelemahan argumentasi.
Pertama, menaikkan harga BBM saat ini memiliki resistensi politik yang berisiko terjadinya gejolak sosial yang dapat mengganggu stabilitas menjelang Pemilu 2009. Kedua, menaikkan harga BBM akan memicu naiknya harga bahan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, seperti beras, gula, minyak goreng, dan sebagainya. Artinya, secara paradigmatik menaikkan harga BBM saat ini tidaklah mungkin mampu menyelamatkan perekonomian nasional dan juga krisis BBM di negeri ini. Sebaliknya, justru kehidupan masyarakat akan semakin terpuruk akibat naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok itu.
Pemikiran Abdul Mongid bahwa selisih dana hasil dari kenaikan harga BBM bisa dialihkan pada subsidi kegiatan produktif berdimensi jangka panjang seperti membangun jalan raya, sistem angkutan umum, dan infrastruktur lain juga memiliki kelemahan argumentasi. Persoalannya sangat fundamental.
Menaikkan harga BBM dengan metode subsidi silang selama ini tidak pernah berfungsi efektif untuk mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di sektor lain. Demikian halnya dalam konteks saat ini, menaikkan harga BBM tidak akan mampu menjawab logika krisis energi nasional yang juga dipicu krisis energi global. Apalagi volume konsumsi BBM terus meningkat karena kendaraan bermotor tidak berhenti diproduksi.
Persoalannya sangat kompleks. Menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi dan energi tidak semudah membalik telapak tangan. Menaikkan harga BBM itu bukan pemikiran konstruktif yang bisa membawa negeri ini keluar dari krisis.
Tentu saya setuju dengan Abdul Mongid bahwa besarnya belanja subsidi BBM telah membuat kita tidak mampu membangun berbagai infrastruktur. Tetapi, ketidakmampuan kita membangun infrastruktur yang lebih baik itu bukan semata-mata karena besarnya subsidi BBM. Hal itu lebih karena para pejabat negara bermental korup.
Konstruksi Pemikiran
Besarnya resistensi politik dan stabilitas perekonomian nasional terkait dengan kemungkinan terjadinya kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat jika pemerintah menaikkan harga BBM. Karena itu, untuk menyelamatkan perekonomian dan krisis energi nasional, diperlukan terobosan baru.
Pertama, daripada menaikkan harga BBM yang berisiko, sebaiknya pemerintah mencabut subsidi BBM secara menyeluruh. Ini memang pemikiran yang sangat radikal. Tidak sedikit masyarakat yang akan menentang, terutama pejabat negara dan mereka yang secara ekonomi selama ini menikmati subsidi BBM itu. Tetapi, inilah pemikiran yang lebih rasional untuk menyelamatkan masa depan perekonomian dan krisis energi Indonesia.
Mengapa subsidi BBM mesti dicabut sebagai langkah strategis penghematan? Bukankah dengan subsidi masyarakat bisa menikmati harga murah dan terjangkau sehingga meringankan beban hidup mereka? Betul, masyarakat bisa menikmati, tapi siapakah sebenarnya yang menikmati subsidi BBM selama ini? Benarkah rakyat miskin menikmati subsidi BBM di negeri ini? Inilah pertanyaan besar yang jawabannya adalah sebuah pengingkaraan para pejabat negara terhadap rakyatnya selama ini. Tampaknya subsidi BBM memang sengaja dipertahankan pemerintah dalam rentang waktu cukup lama karena penikmat sejatinya adalah pejabat negara itu sendiri.
Bagaimana mungkin masyarakat Indonesia yang kebanyakan miskin ini menikmati subsidi BBM, sementara mayoritas pengguna BBM adalah masyarakat menengah ke atas dan perusahaan atau industri besar? Layakkah masyarakat berada disubsidi? Ini jelas sebuah logika jungkir balik yang terus meminggirkan masyarakat kecil di negeri ini.
Ada dua aspek penting yang menguntungkan jika pemerintah mencabut subsidi BBM saat ini. Pertama, masyarakat bisa belajar hidup secara lebih realistis. Kedua, dengan dicabutnya subsidi BBM, secara otomatis APBN kita akan surplus dan otomatis penghematan tercapai secara signifikan dalam rentang waktu relatif panjang. Cobalah kita bayangkan, para pengguna BBM di negeri ini mayoritas (mungkin 90 persen) adalah kendaraan bermotor yang merupakan masyarakat kelas menengah dan berada secara ekonomi.
Kalau kita asumsikan pengguna mobil di negeri ini 8 juta sebagai taksiran minimal dan memiliki tanggungan rata-rata lima orang, berarti masyarakat yang menikmati subsidi ada 40 juta orang. Jika populasi penduduk ada 220 juta, berarti hanya 18 persen dan mereka adalah kelas menegah ke atas. Inikah sebuah keadilan?
Yang jelas, dengan dicabutnya subsidi BBM bisa diasumsikan APBN kita akan surplus. Jika harga jual BBM saat ini Rp4.500 kemudian, katakanlah menjadi Rp6 ribu ketika subsidi dicabut, berarti APBN kita surplus 75 persen per liter.
Dengan demikian, terjadi surplus produksi versus konsumsi BBM. Jika produksi perminyakan kita, katakanlah 300 ribu barel per hari, sekitar 9 juta barel per bulan; sementara harga minyak mentah dunia 90 dolar AS per barel, terjadi surplus sekitar 810 juta dolar AS per bulan.
Dari sisi ini saja penghematan BBM bisa efektif. Untuk itu, subsidi mesti dicabut. Dengan dicabutnya subsidi BBM, secara otomatis terjadi penghematan.
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,