
Lima Presiden semunya mempunyai ‘Catatan Hitam’. Baik mereka yang dipilih melalui mekanisme parlementer maupun langung, seperti SBY-JK pada tahun 2004 kemarin.
Ke-lima Presiden
Itulah potret sesungguhnya dari karakter presiden di
Kegelisahan yang mendalam tentang peranan dan ketangguhan negara serta korporasi dalam menghadapi gejolak krisis baik pada tahap awal maupun pascakrisis.
Meski Orba tercatat sebagai punggawa pertumbuhan ekonomi yang terbilang lumayan semasanya, namun, faktanya berbagai ketimpangan dan kerawanan di bidang ekonomi maupun sosial justru sangat menonjol. Puncaknya, polarisasi massa rakyat di
Transisi
Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi sesungguhnya tidak membawa manfaat pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Lihat, proses pemilu maupun pilkada yang selalu saja diwarnai dan didominasi oleh politik uang.
Jika kecenderungan budaya ini terus berlanjut hingga merangsek masuk di daerah-daerah pada momentum pilkada. Dipastikan akan muncul banyak pertanyaan, yang bisa mengakibatkan deligitimasi terhadap kekuatan kekuasaan itu sendiri alias pemrintahan.
Kita coba bedah ketika politik uang itu terjadi di setiap pentas demokrasi, baik didaerah maupun di pusat. kita coba pertanyakan pada diri sendiri maupun pada politikus-politikus yang bermain. Apakah Demokrasi ada manfaatnya untuk rakyat ? Adakah ideologi dalam proses politik yang akan dibawa dan diperjuangkan itu ada ?. Jika semuanya itu tidak terjawab, tunggu saja proses komersialisasi dan dominasi politik uang dalam proses demokrasi di
Ironis, jika kesemuanya itu terjadi. Apalagi, dalam kondisi dominasi pragmatisme dan politik uang yang begitu terasa, di negara kita.
Dari situ, Negara akan terkesan hanya memperjuangkan kepentingan elite saja, sedangkan rakyat dilepaskan kepada belas kasihan mekanisme pasar. Seperti misalnya, pencabutan berbagai subsidi di dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang dihapuskan tanpa melihat perbedaan kemampuan ekonomis dari masyarakat itu sendiri. Padahal, di negara kapitalistik sekalipun, seperti di Eropa, tetap ada subsidi maupun bantuan keuangan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat yang tidak mampu.
Inilah kenapa kita harus mengajukan pertanyaan penting, Mengapa
Namun, setelah lebih dari 40 tahun, GNP per kapita negara-negara tersebut pada 2004,
Inilah faktanya jika Negara kita selalu mengalami kemunduran, akibat dominasi korporat-korporat asing yang masuknya justru dilegalkan oleh Undang-undang kita sendiri.
Mafia
Kekuasaan dan peranan Mafia Berkeley nyaris 40 tahun berada di
Hal ini menunjukkan bahwa penyebab situasi tersebut adalah kebijakan Orde Baru dalam bidang ekonomi
Dari situ lah, Mafia Berkeley telah gagal membawa
Selain ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, dan memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh, di bawah pengaruh dan kekuasaan Mafia Berkeley itu.
Utang yang besar dan habisnya kekayaan alam kita serta ditambah lagi dengan rusaknya hutan alam kita, ternyata tidak sebanding dengan penghasilan kita, hanya saja semua itu menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$1.100 dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimum serta ketergantungan mental maupun finansial negara Indonesia terhadap utang luar negeri juga malah bertambah besar.
Kegagalan itu terjadi karena strategi dan kebijakan ekonomi politik akan selalu menempatkan
Ironisnya, justru situasi tersebut sangat diperparah dengan tidak adanya perubahan dalam arah kepemimpinan nasional di tingkatan presiden. Bahkan, semua presiden yang ada, semuanya masih tunduk pada kepentingan pasar yang bercorak neoliberalisme.
Presiden pascareformasi
Strategi pemulihan ekonomi yang diterapkan pemerintahan
Berbagai kebijakan memang terdengar asing bagi masyarakat awam, namun merekalah yang paling terkena imbasnya dengan pemotongan tingkat kesejahteraan orang miskin melalui pengurangan subsidi, pengurangan nilai upah ril, penghancuran nilai tukar petani dan nelayan, serta penghapusan banyak kondisi kerja yang menguntungkan kaum buruh.
Sementara itu, dari hasil pencabutan subsidi yang kita kenal sebagai SAP (struktur Adjusment Program) atau program penyesuaian, negara donor internasional. Seperti Deregulasi, Provatisasi, Pencabutan Subsidi dari rakyat, serta pembebasan biaya masuk bagi modal asing yang ingin mengembangkan barang dagangannya di Indonesia.
Ironisnya asumsi dasar pemerintah dalam melakukan efisiensi dan privatisasi aset-aset BUMN kita, justru semuanya hanya untuk membayar utang ke negara donor internasional saja, tanpa dilakukan dengan permintaan penghapusan utang ke lembaga donor tersebut.
Inilah fakta dari sebuah ketidakadilan yang diperlihatkan secara nyata oleh pemerintah yang dipimpin oleh lima presiden Indonesia kita.
Selebihnya, semuanya kita serahkan pada hati nurani kita, yang memang masih mempunyai harapan untuk tetap berubah. Yakni melawan kapitalisme.(amir castro).
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,