
Antara Jurnalis dan Buruh Tak Ada Bedanya
Setelah melihat dan membaca berbagai tulisan kawan-kawan di berbagai media. Saya ingin kembali nimbrung sebentar untuk berbagi ide dan gagasan serta pengalaman di layar blog ini.
Namun, sebelumnya saya juga ingin minta maaf kepada temen-teman sesama jurnalis lainnnya. Entah ini terlepas dari realitas dan kesadaran yang membelenggu hati saya atau bukan. Tapi perasaan ini kemudian menarik otak kiri kembali mediskusikan masalah sang wartawan alias jurnalis (dalam bahasa 'gaul') yang tidak lain adalah golongan dari kaum 'buruh'.
Barang kali ini yang ingin saya utarakan, semoga saja bisa bermanfaat demi kemajuan kita bersama, meniti jalan terjal menuju demokrasi...!!!!
Pada prinsipnya, saya sependapat bahwa jurnalis memang dapat disebut sebagai buruh. Sebutan ini, muncul seiring dengan perkembangan zaman dunia pers atau media massa masuk dalam institusi industri. Dan menempatkan jurnalis sebagai salah satu bagian dari sistem proses produksi.
Bahkan kita juga sering mendengar, bukan hanya sekadar persepsi publik yang dulu sering menyebut jurnalis sebagai "kuli tinta". Namun sang jurnalis-nya sendiri, dulu juga sering menyebut dirinya sebagai "kuli tinta". Sebutan ini, muncul karena proses pekerjaan-nya masih menggunakan tinta (jaman doeloe).
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah. Kini para jurnalis sudah dapat menikmati adanya teknologi komputer. Namun, sebutan "kuli" bagi jurnalis ternyata masih tetap melekat dan tidak hilang.
Istilah "kuli disket" muncul, karena para jurnalis ketika menyerahkan berita ke redaktur-nya menggunakan disket. Meskipun sebutan "kuli disket" kini sudah tidak popular, karena perkembangan teknologi.
Disket sudah berlalu, setelah muncul CD dan flasdisk. Bahkan dengan sistem online dan internet, kini wartawan sudah tidak lagi membawa berita yang telah diketiknya ke dalam disket kepada redakturnya. Karena semua sudah dapat di-online-kan dan dikiram via internet.
Lantas, apakah kini sebutan jurnalis berubah menjadi "kuli computer" atau "kuli internet"?
Ternyata tidak.Sebutan jurnalis sebagai "kuli computer" atau "kuli internet" tidak sempat muncul. Mungkin karena secara kombinasi kata, tidak nyaman untuk didengar. Namun, bagi dunia industri media massa, hingga kini tetap memposisikan jurnalis sebagai kuli atau buruh. Karena para jurnalis bekerja dan memeras keringatnya, untuk mendapatkan upah dari perusahaan tempat-nya dia bekerja. Hal ini dapat kita pahami, karena media massa kini sudah menjadi istitusi industri (berorientasi profit).
Namun sekali lagi, seperti yang sudah sedikit saya singgung dalam tulisan di atas. Meski ada juga sang jurnalis dapat disebut sebagai seorang kuli atau buruh, ternyata jurnalis memiliki sedikit karakteristik dan sifat yang berbeda dengan kuli bangunan atau buruh-buruh yang lain. Karena pekerjaan jurnalis membutuhkan sebuah keahlian terntentu, dan jurnalis bertanggung jawab atas keahlian-nya secara profesional. Selain itu, dalam menjalankan pekerjaan-nya, jurnalis juga diikat dan terikat oleh sebuah kode etik tertentu. Sehingga jurnalis juga dapat disebut sebagai profesi.
Meskipun sama-sama bekerja sesuai dengan profesinya, ternyata jurnalis berbeda dengan seorang dokter atau lawyer. Jika dokter atau pengacara bisa melakukan tawar menawar dengan pasien atau klien-nya. Namun, jurnalis beda dengan lawyer atau dokter. Dalam hubungan kerja antara jurnalis dengan perusahaan media-nya, nyaris tidak ada proses tawar menawar.
bisa?
Inilah fenomena dunia industri di negara kita. Banyak sebuah industri penerbitan atau media massa yang telah mempekerjakan orang, hampir tidak ada yang tunduk dan mematuhi hukum ketenagakarjaan yang ada. Baik dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, Keputusan Menteri Tenagakerja (Kepmenaker), Peraturan Pemerintah (PP) tentang ketenagakerjaan, serta hasil ratifikasi ILO yang ada dan berlaku di Negara kita. Semua seakan berlalu dimata industri media massa (menghantam tapi tidak mau dihantam).
Hampir semua kekentuan yang ada dalam hukum perburuhan, apapun jenis usahanya wajib untuk membuat perjanjian kerja bersama atau kesepakatan kerja bersama (PKB/KKB). Dalam proses pembuatan KKB/PKB ini, seharusnya tidak ada aturan sepihak. Melainkan antara perwakilan buruh dan pengusaha, duduk bersama dalam satu meja untuk membahas kesepakatan kerja bersama ini. Hasil kesepakatan kerja ini, baru dapat dianggap sah dan berkekuatan hukum tetap (inkraah), jika sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara majikan dan buruh), kemudian diketahui dan ditandatangani oleh perwakilan dari unsur pemerintahan (dinas tenaga kerja).
Ada salah satu temen saya, yang pernah berdiskusi dengan seorang koresponden dari sebuah stasiun televisi yang ada di Indonesia, ia menceritakan diskusianya dengan salah satu temennya mengenai buruh kontrak.
Sang temannya bangga, sembari menunjukan sebuah surat perjanjian kontrak, saking bangganya temannya mengatakan diperusahaan tempat ia bekerja menjalani profesinya sebagai jurnalis, ia mengaku jika setiap tahun selalu menerima dan menandatangani surat perjanjian kontrak kerja.
Maklum juga, teman saya masih baru dan belum mengerti apa-apa dibandingkan dengan teman seprofesinya yang sudah menggeluti dunia jurnalis selam puluhan tahun. Tentu temen saya menyadari jika ia sebagai junior (maklum dunia jurnalis masih mengenal yunior junior).
Sebagai seorang yunior, tentu teman saya hanya bisa diam dan tertunduk. Meskipun dalam hatinya, sempat muncul sebuah pertanyaan, kok bisa? Jika temennya sudah 11 tahun bekerja menjadi jurnalis disebuah stasiun televisi nasional dan ternama, hingga kini statusnya masih menjadi buruh kontrak alias tidak pernah diangkat menjadi buruh tetap.
Setelah berdiskusi dengan-nya akhirnya temen saya berfikir dan merenung. Apa ia yang salah baca, apa ia juga yang salah di dalam menafsirkan makna isi hukum perburuhan yang pernah ia baca? Karena setahu dia, kontrak kerja untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap, memang ada dan diatur dalam hukum perburuhan di negara kita. Namun jika perusahaan itu masih membutuhkan tenaga-nya, tidak diperbolehkan memperpanjang kontrak-nya hingga 11 kali. Melainkan. cukup dua kali, dan masa kontrak selama-lama-nya dua tahun.
Sementara jika pihak perusahaan masih membutuhkan tenaga dan fikiran-nya, serta menginginkan dia (buruh-nya) tetap bekerja di perusahaan itu. Pihak perusahaan wajib mengangkat-nya menjadi buruh atau karyawan tetap, setelah dua kali menjadikan-nya sebagai buruh kontrak.
Dalam sistem hubungan industrial kita, buruh kerja kontrak memang halal dan diperbolehkan. Namun hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang tidak bersifat permanen. Seperti kuli bangunan, kuli proyek, dan lain-lain yang bersifat tidak permanen. Artinya, dalam waktu tertentu jenis pekerjaan ini akan selesai dan berakhir setelah gedung atau bangunan-nya selesai. Karena itu, sang majikan atau kontraktor-nya tidak bisa kewajiban mengangkat buruhnya menjadi karyawan tetap di perusahaan-nya. Karena itu, dalam hukum ketenagakerjaan kita dikenal istilah KKWT (kesepakatan kerja waktu tertentu).
Menaggapi cerita teman saya, profesi jurnalis itu memang tidak bisa dijadikan sebagai buruh atau pekerja kontrak. Apalagi setiap tahun menandatangani surat perjanjian kontrak, hingga 11 kali. Karena pekerjaan wartawan bersifat tetap dan terus menerus. Sehingga kalau kita mengacu kepada KKWT (kesepakatan kerja waktu tertentu), baik yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP), kepmemnaker, maupun UU ketenagakerjaan, menjadikan wartawan sebagai kuli atau pekerja kontrak tentu tidak diperbolehkan. Kecuali industri media massa itu ingin menyiasati undang-undang yang berlaku di negara kita untuk sebuah 'kepentingan tertentu'.
Orang yang tidak taat hukum memang sering mengatakan bahwa, 'hukum itu di-buat memang untuk dilanggar'. Jika media massa (baik cetak maupun elektronik) yang notabene sebagai tempat terakhir untuk bersandar, warga menyampaikan berbagai ragam keluh kesah, ternyata juga tidak taat hukum. Sebagai seorang jurnalis mungkin kita hanya bisa mengelus dada. Duh, Gusti! Kepada siapa lagi masyarakat berharap, karena semua lembaga pemerintah dan parlemen, kini juga sudah tidak bisa dijadikan-nya lagi sebagai tempat mengadu.

Aneh memang, jika tonggak demokrasi (media massa) yang selalu terbiasa menyuarakan keadilan, justru faktanya berbicara lain, media itu sendiri ternyata tak menggubris asas keadilan tersebut. Maka dari itu, karena dunia media massa juga termasuk istitusi industri. Ideal-nya sebuah industri tentu hanya mempunyai fikiran, bagaimana cara-nya bisa meraih sebuah keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya.
Maka jangan heran atau gumun, jika ada jurnalis yang tak digaji dan hanya disuruh mencari iklan serta dijadikan sebagai buruh kontrak sepanjang masa. Sebab dalam sistuasi serba sulit seperti ini, karena semua harga kebutuhan produksi dan alat produksi (termasuk biaya perawatan alat produksi) semua mengalami kenaikan. Satu-satu-nya jalan agar bisa tetap survive dan untung, pihak perusahaan tentu akan menekan upah buruh-nya (dengan memakai logika kapitalisme).
Selain upah buruh-nya yang ditekan, perusahaan tentu akan memakai sistem kerja kontrak sepanjang masa dalam menjalin hubungan kerja dengan karyawan-nya. Bahkan, hanyya dengan menjadikan buruh-nya menjadi tenaga kontrak, perusahaan tidak lagi berfikir untuk memberikan uang jasa dan tunjangan hari tua kepada buruhnya. Jika terjadi perselisihan dalam hubungan industrial, dengan mudah pihak perusahaan memutus hubungan kerja dan mem-PHK buruh-nya. Tanpa merasa kebingungan memikirkan uang pesangon bagi wartawannya, karena cukup hanya memberikan uang tali asih. Bahkan, nominalnya saja, ada yang suka-suka, tergantung mood pihak pengusaha. Wong, hanya tali asih kok, hehehehe.
Melihat sepintas dari dasar hukum sistem kerja kontrak, tentu kita tidak bisa menyebut bahwa kontributor atau koresponden sebuah media massa sebagai buruh-nya media itu. Apalagi bagi kontributor yang tidak pernah diajak berunding dan merundingkan KKB/PKB. Bahkan disebut sebagai buruh kontrak pun tidak bisa, karena tidak pernah menerima penawaran dan menandatangani surat perjanjian kontrak kerja.
Lalu apa statusnya?
Disebut sebagai sebagai wartawan freelance atau lepas, barangkali juga kurang tepat. Karena kontributor atau korespoden, tidak memiliki kebebasan mengirimkan atau menawarkan hasil liputan-nya ke media lain. Selain kepada media itu. Sebagai wartawan freelance, jika sewaktu-waktu kontributor kebobolan berita atau dibobol oleh wartawan dari media lain, ternyata juga dipersoalkan oleh perusahaan itu. Minimal kena tegur dan dimarahi.
Kok Aneh yo?.
Ya, itulah realitasnya. Wong Indonesia itu kan gitu! G usah kaget!!. Sebagai jurnalis, posisi kontributor atau koresponden dalam hubungan industrial media massa, memang sangat lemah. Selain berada diposisi terbawah, di negara-negara yang mementingkan kapital seperti Amerika, kontributor atau koresponden juga sering disebut sebagai stringer atau pembantu dari sebuah media massa tertentu. Oleh kalangan jurnalis televisi di negara kita, stringer sering dimaknai sebagai pembantu-nya kontributor atau koresponden.
Namanya juga pembantu, dimata kalangan pengusaha media tentu menjadi wajar jika kontributor atau koresponden daerah, diposisikan sangat lemah dalam hubungan industrial ini. Sekalipun dalam menjalankan aktifitas pekerjaan-nya, kontributor sebagai jurnalis juga diikat oleh sebuah kode etik tertentu sesuai dengan profesinya. Namun posisinya tetap lemah seperti buruh yang ada di Indonesia saat ini. Namanya juga pembantu! Sehingga ketika majikan-nya sudah merasa tidak cocok ya di tinggal dan dibuang, alias diputus dalam hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon.
Jika sudah demikian, apa yang dapat dilakukan jurnalis?.
Menuntut pihak perusahaan ? pasti tidak bisa. Karena tidak memiliki ikatan kerja. Mengadu kepada lembaga hukum yang ada ? jangan berharap ada yang bersedia membantu. Semua lembaga hukum atau dinas tenaga kerja, pasti akan menutup mata dan telinga. Lari kebirit-birit karena merasa takut terhadap media massa.
Hahaha, Kok bisa sichhhh...?? Tragis bangetttt.. Ya, ralitasnya, itulah hebatnya INDONESIA.
Jombang, 07 Agustus 2008.
amer castro
Setelah melihat dan membaca berbagai tulisan kawan-kawan di berbagai media. Saya ingin kembali nimbrung sebentar untuk berbagi ide dan gagasan serta pengalaman di layar blog ini.
Namun, sebelumnya saya juga ingin minta maaf kepada temen-teman sesama jurnalis lainnnya. Entah ini terlepas dari realitas dan kesadaran yang membelenggu hati saya atau bukan. Tapi perasaan ini kemudian menarik otak kiri kembali mediskusikan masalah sang wartawan alias jurnalis (dalam bahasa 'gaul') yang tidak lain adalah golongan dari kaum 'buruh'.
Barang kali ini yang ingin saya utarakan, semoga saja bisa bermanfaat demi kemajuan kita bersama, meniti jalan terjal menuju demokrasi...!!!!
Pada prinsipnya, saya sependapat bahwa jurnalis memang dapat disebut sebagai buruh. Sebutan ini, muncul seiring dengan perkembangan zaman dunia pers atau media massa masuk dalam institusi industri. Dan menempatkan jurnalis sebagai salah satu bagian dari sistem proses produksi.
Bahkan kita juga sering mendengar, bukan hanya sekadar persepsi publik yang dulu sering menyebut jurnalis sebagai "kuli tinta". Namun sang jurnalis-nya sendiri, dulu juga sering menyebut dirinya sebagai "kuli tinta". Sebutan ini, muncul karena proses pekerjaan-nya masih menggunakan tinta (jaman doeloe).
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah. Kini para jurnalis sudah dapat menikmati adanya teknologi komputer. Namun, sebutan "kuli" bagi jurnalis ternyata masih tetap melekat dan tidak hilang.
Istilah "kuli disket" muncul, karena para jurnalis ketika menyerahkan berita ke redaktur-nya menggunakan disket. Meskipun sebutan "kuli disket" kini sudah tidak popular, karena perkembangan teknologi.
Disket sudah berlalu, setelah muncul CD dan flasdisk. Bahkan dengan sistem online dan internet, kini wartawan sudah tidak lagi membawa berita yang telah diketiknya ke dalam disket kepada redakturnya. Karena semua sudah dapat di-online-kan dan dikiram via internet.
Lantas, apakah kini sebutan jurnalis berubah menjadi "kuli computer" atau "kuli internet"?
Ternyata tidak.Sebutan jurnalis sebagai "kuli computer" atau "kuli internet" tidak sempat muncul. Mungkin karena secara kombinasi kata, tidak nyaman untuk didengar. Namun, bagi dunia industri media massa, hingga kini tetap memposisikan jurnalis sebagai kuli atau buruh. Karena para jurnalis bekerja dan memeras keringatnya, untuk mendapatkan upah dari perusahaan tempat-nya dia bekerja. Hal ini dapat kita pahami, karena media massa kini sudah menjadi istitusi industri (berorientasi profit).
Namun sekali lagi, seperti yang sudah sedikit saya singgung dalam tulisan di atas. Meski ada juga sang jurnalis dapat disebut sebagai seorang kuli atau buruh, ternyata jurnalis memiliki sedikit karakteristik dan sifat yang berbeda dengan kuli bangunan atau buruh-buruh yang lain. Karena pekerjaan jurnalis membutuhkan sebuah keahlian terntentu, dan jurnalis bertanggung jawab atas keahlian-nya secara profesional. Selain itu, dalam menjalankan pekerjaan-nya, jurnalis juga diikat dan terikat oleh sebuah kode etik tertentu. Sehingga jurnalis juga dapat disebut sebagai profesi.
Meskipun sama-sama bekerja sesuai dengan profesinya, ternyata jurnalis berbeda dengan seorang dokter atau lawyer. Jika dokter atau pengacara bisa melakukan tawar menawar dengan pasien atau klien-nya. Namun, jurnalis beda dengan lawyer atau dokter. Dalam hubungan kerja antara jurnalis dengan perusahaan media-nya, nyaris tidak ada proses tawar menawar.
bisa?
Inilah fenomena dunia industri di negara kita. Banyak sebuah industri penerbitan atau media massa yang telah mempekerjakan orang, hampir tidak ada yang tunduk dan mematuhi hukum ketenagakarjaan yang ada. Baik dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, Keputusan Menteri Tenagakerja (Kepmenaker), Peraturan Pemerintah (PP) tentang ketenagakerjaan, serta hasil ratifikasi ILO yang ada dan berlaku di Negara kita. Semua seakan berlalu dimata industri media massa (menghantam tapi tidak mau dihantam).
Hampir semua kekentuan yang ada dalam hukum perburuhan, apapun jenis usahanya wajib untuk membuat perjanjian kerja bersama atau kesepakatan kerja bersama (PKB/KKB). Dalam proses pembuatan KKB/PKB ini, seharusnya tidak ada aturan sepihak. Melainkan antara perwakilan buruh dan pengusaha, duduk bersama dalam satu meja untuk membahas kesepakatan kerja bersama ini. Hasil kesepakatan kerja ini, baru dapat dianggap sah dan berkekuatan hukum tetap (inkraah), jika sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara majikan dan buruh), kemudian diketahui dan ditandatangani oleh perwakilan dari unsur pemerintahan (dinas tenaga kerja).Ada salah satu temen saya, yang pernah berdiskusi dengan seorang koresponden dari sebuah stasiun televisi yang ada di Indonesia, ia menceritakan diskusianya dengan salah satu temennya mengenai buruh kontrak.
Sang temannya bangga, sembari menunjukan sebuah surat perjanjian kontrak, saking bangganya temannya mengatakan diperusahaan tempat ia bekerja menjalani profesinya sebagai jurnalis, ia mengaku jika setiap tahun selalu menerima dan menandatangani surat perjanjian kontrak kerja.
Maklum juga, teman saya masih baru dan belum mengerti apa-apa dibandingkan dengan teman seprofesinya yang sudah menggeluti dunia jurnalis selam puluhan tahun. Tentu temen saya menyadari jika ia sebagai junior (maklum dunia jurnalis masih mengenal yunior junior).
Sebagai seorang yunior, tentu teman saya hanya bisa diam dan tertunduk. Meskipun dalam hatinya, sempat muncul sebuah pertanyaan, kok bisa? Jika temennya sudah 11 tahun bekerja menjadi jurnalis disebuah stasiun televisi nasional dan ternama, hingga kini statusnya masih menjadi buruh kontrak alias tidak pernah diangkat menjadi buruh tetap.
Setelah berdiskusi dengan-nya akhirnya temen saya berfikir dan merenung. Apa ia yang salah baca, apa ia juga yang salah di dalam menafsirkan makna isi hukum perburuhan yang pernah ia baca? Karena setahu dia, kontrak kerja untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap, memang ada dan diatur dalam hukum perburuhan di negara kita. Namun jika perusahaan itu masih membutuhkan tenaga-nya, tidak diperbolehkan memperpanjang kontrak-nya hingga 11 kali. Melainkan. cukup dua kali, dan masa kontrak selama-lama-nya dua tahun.
Sementara jika pihak perusahaan masih membutuhkan tenaga dan fikiran-nya, serta menginginkan dia (buruh-nya) tetap bekerja di perusahaan itu. Pihak perusahaan wajib mengangkat-nya menjadi buruh atau karyawan tetap, setelah dua kali menjadikan-nya sebagai buruh kontrak.
Dalam sistem hubungan industrial kita, buruh kerja kontrak memang halal dan diperbolehkan. Namun hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang tidak bersifat permanen. Seperti kuli bangunan, kuli proyek, dan lain-lain yang bersifat tidak permanen. Artinya, dalam waktu tertentu jenis pekerjaan ini akan selesai dan berakhir setelah gedung atau bangunan-nya selesai. Karena itu, sang majikan atau kontraktor-nya tidak bisa kewajiban mengangkat buruhnya menjadi karyawan tetap di perusahaan-nya. Karena itu, dalam hukum ketenagakerjaan kita dikenal istilah KKWT (kesepakatan kerja waktu tertentu).
Menaggapi cerita teman saya, profesi jurnalis itu memang tidak bisa dijadikan sebagai buruh atau pekerja kontrak. Apalagi setiap tahun menandatangani surat perjanjian kontrak, hingga 11 kali. Karena pekerjaan wartawan bersifat tetap dan terus menerus. Sehingga kalau kita mengacu kepada KKWT (kesepakatan kerja waktu tertentu), baik yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP), kepmemnaker, maupun UU ketenagakerjaan, menjadikan wartawan sebagai kuli atau pekerja kontrak tentu tidak diperbolehkan. Kecuali industri media massa itu ingin menyiasati undang-undang yang berlaku di negara kita untuk sebuah 'kepentingan tertentu'.
Orang yang tidak taat hukum memang sering mengatakan bahwa, 'hukum itu di-buat memang untuk dilanggar'. Jika media massa (baik cetak maupun elektronik) yang notabene sebagai tempat terakhir untuk bersandar, warga menyampaikan berbagai ragam keluh kesah, ternyata juga tidak taat hukum. Sebagai seorang jurnalis mungkin kita hanya bisa mengelus dada. Duh, Gusti! Kepada siapa lagi masyarakat berharap, karena semua lembaga pemerintah dan parlemen, kini juga sudah tidak bisa dijadikan-nya lagi sebagai tempat mengadu.

Aneh memang, jika tonggak demokrasi (media massa) yang selalu terbiasa menyuarakan keadilan, justru faktanya berbicara lain, media itu sendiri ternyata tak menggubris asas keadilan tersebut. Maka dari itu, karena dunia media massa juga termasuk istitusi industri. Ideal-nya sebuah industri tentu hanya mempunyai fikiran, bagaimana cara-nya bisa meraih sebuah keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya.
Maka jangan heran atau gumun, jika ada jurnalis yang tak digaji dan hanya disuruh mencari iklan serta dijadikan sebagai buruh kontrak sepanjang masa. Sebab dalam sistuasi serba sulit seperti ini, karena semua harga kebutuhan produksi dan alat produksi (termasuk biaya perawatan alat produksi) semua mengalami kenaikan. Satu-satu-nya jalan agar bisa tetap survive dan untung, pihak perusahaan tentu akan menekan upah buruh-nya (dengan memakai logika kapitalisme).
Selain upah buruh-nya yang ditekan, perusahaan tentu akan memakai sistem kerja kontrak sepanjang masa dalam menjalin hubungan kerja dengan karyawan-nya. Bahkan, hanyya dengan menjadikan buruh-nya menjadi tenaga kontrak, perusahaan tidak lagi berfikir untuk memberikan uang jasa dan tunjangan hari tua kepada buruhnya. Jika terjadi perselisihan dalam hubungan industrial, dengan mudah pihak perusahaan memutus hubungan kerja dan mem-PHK buruh-nya. Tanpa merasa kebingungan memikirkan uang pesangon bagi wartawannya, karena cukup hanya memberikan uang tali asih. Bahkan, nominalnya saja, ada yang suka-suka, tergantung mood pihak pengusaha. Wong, hanya tali asih kok, hehehehe.
Melihat sepintas dari dasar hukum sistem kerja kontrak, tentu kita tidak bisa menyebut bahwa kontributor atau koresponden sebuah media massa sebagai buruh-nya media itu. Apalagi bagi kontributor yang tidak pernah diajak berunding dan merundingkan KKB/PKB. Bahkan disebut sebagai buruh kontrak pun tidak bisa, karena tidak pernah menerima penawaran dan menandatangani surat perjanjian kontrak kerja.
Lalu apa statusnya?
Disebut sebagai sebagai wartawan freelance atau lepas, barangkali juga kurang tepat. Karena kontributor atau korespoden, tidak memiliki kebebasan mengirimkan atau menawarkan hasil liputan-nya ke media lain. Selain kepada media itu. Sebagai wartawan freelance, jika sewaktu-waktu kontributor kebobolan berita atau dibobol oleh wartawan dari media lain, ternyata juga dipersoalkan oleh perusahaan itu. Minimal kena tegur dan dimarahi.
Kok Aneh yo?.
Ya, itulah realitasnya. Wong Indonesia itu kan gitu! G usah kaget!!. Sebagai jurnalis, posisi kontributor atau koresponden dalam hubungan industrial media massa, memang sangat lemah. Selain berada diposisi terbawah, di negara-negara yang mementingkan kapital seperti Amerika, kontributor atau koresponden juga sering disebut sebagai stringer atau pembantu dari sebuah media massa tertentu. Oleh kalangan jurnalis televisi di negara kita, stringer sering dimaknai sebagai pembantu-nya kontributor atau koresponden.
Namanya juga pembantu, dimata kalangan pengusaha media tentu menjadi wajar jika kontributor atau koresponden daerah, diposisikan sangat lemah dalam hubungan industrial ini. Sekalipun dalam menjalankan aktifitas pekerjaan-nya, kontributor sebagai jurnalis juga diikat oleh sebuah kode etik tertentu sesuai dengan profesinya. Namun posisinya tetap lemah seperti buruh yang ada di Indonesia saat ini. Namanya juga pembantu! Sehingga ketika majikan-nya sudah merasa tidak cocok ya di tinggal dan dibuang, alias diputus dalam hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon.
Jika sudah demikian, apa yang dapat dilakukan jurnalis?.
Menuntut pihak perusahaan ? pasti tidak bisa. Karena tidak memiliki ikatan kerja. Mengadu kepada lembaga hukum yang ada ? jangan berharap ada yang bersedia membantu. Semua lembaga hukum atau dinas tenaga kerja, pasti akan menutup mata dan telinga. Lari kebirit-birit karena merasa takut terhadap media massa.
Hahaha, Kok bisa sichhhh...?? Tragis bangetttt.. Ya, ralitasnya, itulah hebatnya INDONESIA.
Jombang, 07 Agustus 2008.
amer castro
hahahah...lanjut kang,,,,,
BalasHapus