Langsung ke konten utama

Sikap Kaum Pinggiran, Pada Sang Saka


Saat Hormat Tanpa Sepatu dan Seragam
JOMBANG – Tak ada hingar bingar dan gelegar suara drumband sore itu. Hanya saja kibasan sang saka merah putih tetap terlihat malas berkibar dan akhirnya terpaksa di turunkan.

Peringatan HUT RI ke-63 pun masih terlampau senja, bagi masyarakat pinggiran kota Jombang. Dilapangan Desa Mojongapit yang menjadi saksi sang saka turun, kian bersaksi bahwa situasi dan kondisi istana negara pada hari dan jam yang sama tetap tak sama saat merah dan putih-nya menjadi saksi kepolosan rasa nasionalisme kaum pinggiran, saat sederetan kaum perempuan dan laki-laki baik muda maupuan tua, menghormati sang saka turun tanpa menggenakan seragam, sepatu dan bahasa nasional.

Upacara penurunan bendera yang dimulai sekitar pukul 17.00 WIB itu, berjalan ala kadarnya. Peserta upacara yang tak mengenakan seragam, sepatu dan bahasa kesatuan berdirinya republik, seperti yang digariskan dalam teks proklamasi, mau tidak mau tetap berjalan anggun.

Pun demikian, upacara yang digelar dilapangan yang tak memiliki panggung, pasukan, kursi dan undangan tersebut tetap berlangsung penuh khidmat. Seolah hati dan sikap nasionalisme mereka kalahkan wakil presiden (yusuf kalla) yang enggan hormat kepada sang saka di istana negara, sore itu.

Seluruh RT yang ada di Desa Mojongapit semua hadir di lapangan tersebut. Bahkan sejumlah anak kecil, dan para manula juga larut didalamnya.

"Upacara ngedukno gendero 17 Agustus 2008 kate dimulai, komandan pleton mlebu nang lapangan nyiapno barisan dewe-dewe (Upacara penurunan bendera 17 Agustus 2008 segera dimulai, komandan pleton memasuki lapangan menyiapkan barisan sendiri-sendiri)," tegas suara protokol upacara dengan bahasa jawa kental, memecah rasa ketertindasan dari penjajah (merdeka!!).

Tak berselang lama, masing-masing komandan pleton sibuk mengatur barisan. Begitu seterusnya, protokol upacara membacakan jadwal upacara dengan bahasa jawa.

Bertindak sebagai inspektur upacara, Andik (35) Kepala Desa setempat mengatakan, upacara penurunan bendera dengan gaya yang khas itu merupakan agenda rutin yang digelar oleh desanya setiap Agustus.

Yang terpenting bagi warga desa Mojongapit, tambah Andik, adalah penghayatan terhadap peringatan kemerdekaan itu sendiri. Oleh karena itu, meski upacara yang digelar oleh warganya itu terkesan ala kadarnya. Namun, niat untuk menghargai pahlawan sangat besar. Terkait dengan digunakannya bahasa jawa, lanjutnya, lantaran hal itu untuk membudidayakan bahasa jawa agar tidak luntur terherus oleh arus zaman.

"Upacara ini kami gelar rutin setiap tahun. Namunkita hanya menggelar penurunannya saja," jelas Andik.(amir)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Korban Ryan Tembus 11 Orang

Polisi akan menjerat Ryan dengan pasal hukuman mati. JOMBANG -- Halaman belakang rumah Very Idam Henyansyah (34 tahun) tak ubahnya kuburan massal. Sampai dengan Senin (28/7), 10 jenazah ditemukan di sana. Dengan demikian, korban pembunuhan yang dilakukan Ryan telah 11 orang. Bertambahnya jumlah korban pria gemulai itu diketahui setelah dilakukan penggalian lanjutan di belakang rumah Ryan di Desa Jatiwates, Kec Tembelang, Kab Jombang, Jawa Timur. Kemarin, polisi menemukan enam jenazah. Pada penggalian sebelumnya, polisi menemukan empat jenazah. Keberadaan enam mayat itu diketahui saat Ryan diperiksa di Markas Polda Jawa Timur. Ryan lalu digiring untuk menunjukkan lokasinya. Penggalian pun dilakukan delapan jam, mulai pukul 10.00 WIB. Ryan berada di lokasi dengan tangan dan kaki diborgol. Kepada polisi, kata Kapolda Jatim, Irjen Pol Herman Sumawireja, Ryan mengatakan masih ada lima mayat. ''Tapi, kami menemukan enam,'' katanya saat menyaksikan penggalian. Mayat-mayat itu ...

Jelang Eksekusi Mati, Sumiarsih Isi Waktu Latih Napi Bikin Selimut

Kendati hendak di eksekusi mati. Sumiarsih , 65 , otak pembunuhan berencana lima anggota keluarga Letkol Marinir Purwanto di Surabaya, 20 tahun silam, nampak pasrah menghadapi rencana eksekusi Kejagung bulan ini. Bahkan sesekali ia terlihat tegar bersama rekan-rekannya di LP Porong, dengan melakukan kegiatan membuat selimut dari tempat tisu. Dengan mengenakan seragam Napi (narapidana) Lapas Wanita Malang warna biru tua, mata Sumiarsih tampak sayu. Demikian pula wajahnya yang dihiasi garis-garis keriput juga terlihat lelah dan sayup. Namun, Mbah Sih, panggilan akrab- Sumiarsih di antara sesama napi, tetap ingin tampil ramah. "Saya habis bekerja di Bimpas (Bimbingan Pemasyarakatan). Bersama rekan-rekan membuat tempat tisu ini," kata Sumiarsih sambil menunjukkan beberapa hasil karyanya di ruang kantor Entin Martini, kepala Lapas Wanita Malang, yang berlokasi di kawasan Kebonsari, Sukun, itu. Sudah tiga bulan ini Sumiarsih aktif membimbing para wanita penghuni lapas membua...

galeri 1000 Puisi Untuk RA KARTINI

FOTO : DUTA/AMIR CASTRO Captoin : SIMBOL PERLWANAN KARTINI MELAWAN PENINDAS FEODAL. Sejumlah mahasiswa STKIP PGRI Jombang, peringati Hari Kartini dengan memajang karya mereka dalam tema 1000 Puisi Untuk RA KARTINI.