Era euforia Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dimasuki PTN telah menimbulkan kompetisi hebat yang bukan hanya menempatkan PTN sebagai “pemburu” yang saling adu jurus antar sesama PTN, tetapi juga menjadi “pembantai” yang sangat niscaya bisa memakan korban matinya sebagian PTS.
Di tengah euforia BHMN itu, mencuat pendapat, terutama dari komunitas PTN dan elit negara yang menyatakan, bahwa PTS yang kesulitan hidup atau sudah “megap-megap” di tengah ketat dan “kejamnya” persaingan ini lebih baik merger saja demi mempertahankan keberlanjutan hidupnya.
Opsi seperti itu sangatlah pragmatis. Masalahnya, benarkah merger bagi PTS menjadi solusi yang sehat, humanistis, dan akademistik di saat PTN memasuki zona korporasi edukasi dan menasbihkan kapitalisasi institusi sebagai BHMN?
Rasanya bukan solusi yang tepat. Pertama, PTS didirikan dengan latar belakang ideologi yang tidak homogen, sehingga antara PTS yang satu dengan PTS lainnya tidak bisa diseragamkan. Barangkali PTS lebih memilih mati, dimatikan, atau tereliminasi dari percaturan memperebutkan pasar mahasiswa daripada menyerahkan ideologinya untuk dikooptasi oleh PTS lain yang ideologisnya berbeda.
Ideologi pendirian suatu PTS yang dimasukkan menjadi substansi misi dan misi, yang kemudian beberapa diantaranya dimasukkan dalam kurikulum, dan bahkan diterjemahkan menjadi program unggulan, tidaklah serta merta bisa dikonvergensikan dengan PTS lain yang berbeda. Perbedaan ideologi ini menjadi ruh yang menentukan jati diri PTS.
“Kita berhak mati demi ideologi”, demikian teriak Malone (1987), saat menyadarkan dan membangkitkan semangat kalangan aktifis yang loyo dan kehilangan etos juangnya. Kematian layak dipertaruhkan demi terjaganya harga diri dan tegaknya ideologi. Seseorang dan kekuatan-kekuatan sosial tidak perlu merasa kalah dan malu mengisi agenda sejarah kegagalan, asalkan ideologi tetap terjaga.
PTS yang berhaluan Aswaja (Ahlusunnah wal-jamaah) tidak mungkin bisa diajak bergabung atau me-merger-kan dirinya dengan PTS yang berhaluan Wahabi. PTS yang berbeda ideologi ini mencerminkan keragaman dan keunggulannya, sehingga tidak meniscayakan digabungkan.
Kedua, merger PTS hanya akan membuat rusaknya tatanan kelembagaan baik secara struktural maupun fungsional. PTS yang sudah terakreditasi dengan klasnya (A,B,C,D, dan seterusnya), apalagi dengan yang belum sama sekali, tidak akan bisa disamaratakan, mengingat ada jalur formal akuntabilitas, evaluasi, dan kredibilitas yang dipertaruhkan masing-masing PTS.
Perbedaan dalam proses pembelajaran di PTS selama ini tidak dijadikan ukuran utama oleh negara (Dikti), tetapi perbedaan dalam sisi formalitas PTS terus menerus dikumandangkan oleh negara, yang mengakibatkan banyak pemborosan keuangan yang dikeluarkan oleh PTS. Negara lebih serius dan garang menjatuhkan vonis pada PTS sebagai pelanggar akibat keberaniannya (PTS) mempola kebijakan dalam penyelenggaraan program studi yang bisa mendatangkan sumberdaya ekonomi dari mahasiswa.
Ketiga, rivalitas yang tidak sehat yang dibuat oleh negara dalam menjemput pasar mahasiswa, yang mengakibatkan PTS menjadi anak merana yang terpinggirkan. Negara menciptakan iklim adidaya dan superior dalam diri PTN, sementara PTS yang berjuang dengan kemandiriannya sejak awal berdiri, tidak mendapatkan pengayoman secara egaliter, humanistik, dan akademistik.
Era BHMN menjadi bagian dari diskresi yang dikeluarkan oleh negara, yang membuat PTS kehilangan keberdayaannya untuk berkompetisi secara sehat dengan PTN. Hak-hak privilitas yang diberikan oleh negara kepada PTN yang secara liberal diberi kesempatan merangsang dan menguasai pasar calon mahasiswa, menjadi akar utama yang mengakibatkan PTS hidup sekarat. PTS memang tetap berani menghadapi kompetisi secara maksimal, termasuk dengan PTN, akan tetapi seiring dengan diskresi yang dikeluarkan negara yang meliberalisasikan PTN, maka PTS ibarat anak bau kencur atau pengusaha kecil yang bisa dilindas dengan mudah.
Ada kecenderungan bahwa PTN akan menjadi pemegang lisensi utama dan hak monopolistik dalam penerimaan mahasiswa baru, jika PTS dibiarkan menerima vonis kematiannya. Jikapun ada PTS yang tersisa, maka PTS ini dalam kondisi sesak nafas dan tinggal menunggu gulung tikarnya.
PTN misalnya diberi kesempatan membuka jalur penerimaan mahasiswa baru sebanyak-banyaknya. Negara tak pernah menentukan kuota mengenai jumlah mahasiswa baru yang bisa diterima, sehingga hal ini digunakan oleh PTN untuk mengemas dirinya sebagai perusahaan raksasa yang menggusur dan menggilas perusahaan bermodal kecil seperti PTS.
Keempat, dari sudut perlakuan, itu jelas menunjukkan praktik diskriminasi, mengingat PTN yang secara historis berstigmakan “anak negara”, adalah primadona setiap calon mahasiswa dan orang tua, yang selama ini menempatkannya sebagai opsi privilitas, sementara PTS hanya PT berklas underprivillege. Stigma “Perguruan Tinggi Negeri” masihlah sebagai cermin wajah negara yang menghalalkan ambiguitas dalam mengelola dunia pendidikan tinggi.
Calon mahasiswa dengan sendirinya tergiring untuk masuk PTN akibat pasar baru yang diciptakan oleh PTN yang diabsahkan oleh negara, sementara PTS tak akan berani membuka pasar baru seiring dengan regulasi negara yang melarangnya dengan keras, kalau tak dibilang represip.
Berkat regulasi yang dikeluarkan oleh negara, keuntungan PTN lainnya sangat banyak, misalnya PTN dengan mudah bisa menawarkan kepada calon mahasiswa program unggulan, yang program spesial ini bisa dijadikan lahan mengeruk modal sebesar-besarnya dari calon mahasiswa.
Di fakultas atau program unggulan, PTN bisa mengeruk dana ratusan juta “hanya” dari seorang mahasiswa lewat jalur sayap yang direstui negara, sementara PTS sudah dipatok dengan kuota 50 orang mahasiswa, tanpa boleh menambah seorangpun sebagai cadangannya Akibatnya, PTS yang punya program unggulan ini tetap saja kesulitan mengongkosi biaya operasional penyelenggaraan proses belajar mengajarnya. PTS ini masih akan dihadapkan dengan “kemiskinan” yang membelitnya, yang membuatnya kesulitan mengokohkan kuda-kuda untuk memenangkan daya saing dengan PTN yang sudah mapan sumberdaya ekonominya.
Diskresi yang membenarkan cara monopolistik itu dapat dikategorikan bertentangan dengan pasal 1 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang menyebut, bahwa praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Berpijak pada produk yuridis itu jelas mendeskripsikan, bahwa negara telah membuka kran terbukanya praktik monopolistik dan persaingan usaha secara tidak sehat. PTN telah diberi kesempatan membuka berbagai jalur secara liberalistik dengan modal utama dan istimewa dari pemerintah, baik suprastruktur maupun infrastruktur, yang membuatnya mesti unggul dibandingkan dengan PTS.
Pasar mahasiswa merupakan pasar empuk, strategis, dan fundamental, pasalnya dari pasar inilah keberlanjutan hidup dan kejayaan perguruan tinggi ditentukan, apalagi PTS yang secara umum mengandalkan sumberdaya ekonominya dari mahasiswa. PT yang hebat menguasai pasar mahasiswa tergolong sebagai PT yang andal dalam mencari investor istimewa.
Jika negara memang punya political wiil dalam menyikapi kondisi riil PTS, seharusnya negara tidak tergesa-gesa menawarkan solusi paradok atau tidak keburu mengikuti saran komunitas PTN yang berharap kompetisi semakin mengecil dan mengerucut, yang ujung-ujungnya menempatkan PTN sebagai pemegang lisensi hak monopoli pasar mahasiswa.
Dalam kasus itu, negara selayaknya merumuskan regulasi progresip yang menggariskan tidak semata pada kuota PTN, tetapi juga standar evaluasi yang akuntabel terhadap proses penjaringan calon-calon mahasiswa dan proses pembelajaran yang dilakukan PTN, pasalnya tak sedikit input PTN ini yang baru dua-tiga semester “hijrah” ke PTS akibat indek prestasinya dibawah standar. Kalau PTS yang secara umum “kurus” terus diawasi dan dievaluasi, siapa yang berani menggaransi kalau PTN yang sarat kolesterol (kegemukan) tak mengidap penyakit dalam proses pembelajarannya? [,,]
Di tengah euforia BHMN itu, mencuat pendapat, terutama dari komunitas PTN dan elit negara yang menyatakan, bahwa PTS yang kesulitan hidup atau sudah “megap-megap” di tengah ketat dan “kejamnya” persaingan ini lebih baik merger saja demi mempertahankan keberlanjutan hidupnya.
Opsi seperti itu sangatlah pragmatis. Masalahnya, benarkah merger bagi PTS menjadi solusi yang sehat, humanistis, dan akademistik di saat PTN memasuki zona korporasi edukasi dan menasbihkan kapitalisasi institusi sebagai BHMN?
Rasanya bukan solusi yang tepat. Pertama, PTS didirikan dengan latar belakang ideologi yang tidak homogen, sehingga antara PTS yang satu dengan PTS lainnya tidak bisa diseragamkan. Barangkali PTS lebih memilih mati, dimatikan, atau tereliminasi dari percaturan memperebutkan pasar mahasiswa daripada menyerahkan ideologinya untuk dikooptasi oleh PTS lain yang ideologisnya berbeda.
Ideologi pendirian suatu PTS yang dimasukkan menjadi substansi misi dan misi, yang kemudian beberapa diantaranya dimasukkan dalam kurikulum, dan bahkan diterjemahkan menjadi program unggulan, tidaklah serta merta bisa dikonvergensikan dengan PTS lain yang berbeda. Perbedaan ideologi ini menjadi ruh yang menentukan jati diri PTS.
“Kita berhak mati demi ideologi”, demikian teriak Malone (1987), saat menyadarkan dan membangkitkan semangat kalangan aktifis yang loyo dan kehilangan etos juangnya. Kematian layak dipertaruhkan demi terjaganya harga diri dan tegaknya ideologi. Seseorang dan kekuatan-kekuatan sosial tidak perlu merasa kalah dan malu mengisi agenda sejarah kegagalan, asalkan ideologi tetap terjaga.
PTS yang berhaluan Aswaja (Ahlusunnah wal-jamaah) tidak mungkin bisa diajak bergabung atau me-merger-kan dirinya dengan PTS yang berhaluan Wahabi. PTS yang berbeda ideologi ini mencerminkan keragaman dan keunggulannya, sehingga tidak meniscayakan digabungkan.
Kedua, merger PTS hanya akan membuat rusaknya tatanan kelembagaan baik secara struktural maupun fungsional. PTS yang sudah terakreditasi dengan klasnya (A,B,C,D, dan seterusnya), apalagi dengan yang belum sama sekali, tidak akan bisa disamaratakan, mengingat ada jalur formal akuntabilitas, evaluasi, dan kredibilitas yang dipertaruhkan masing-masing PTS.
Perbedaan dalam proses pembelajaran di PTS selama ini tidak dijadikan ukuran utama oleh negara (Dikti), tetapi perbedaan dalam sisi formalitas PTS terus menerus dikumandangkan oleh negara, yang mengakibatkan banyak pemborosan keuangan yang dikeluarkan oleh PTS. Negara lebih serius dan garang menjatuhkan vonis pada PTS sebagai pelanggar akibat keberaniannya (PTS) mempola kebijakan dalam penyelenggaraan program studi yang bisa mendatangkan sumberdaya ekonomi dari mahasiswa.
Ketiga, rivalitas yang tidak sehat yang dibuat oleh negara dalam menjemput pasar mahasiswa, yang mengakibatkan PTS menjadi anak merana yang terpinggirkan. Negara menciptakan iklim adidaya dan superior dalam diri PTN, sementara PTS yang berjuang dengan kemandiriannya sejak awal berdiri, tidak mendapatkan pengayoman secara egaliter, humanistik, dan akademistik.
Era BHMN menjadi bagian dari diskresi yang dikeluarkan oleh negara, yang membuat PTS kehilangan keberdayaannya untuk berkompetisi secara sehat dengan PTN. Hak-hak privilitas yang diberikan oleh negara kepada PTN yang secara liberal diberi kesempatan merangsang dan menguasai pasar calon mahasiswa, menjadi akar utama yang mengakibatkan PTS hidup sekarat. PTS memang tetap berani menghadapi kompetisi secara maksimal, termasuk dengan PTN, akan tetapi seiring dengan diskresi yang dikeluarkan negara yang meliberalisasikan PTN, maka PTS ibarat anak bau kencur atau pengusaha kecil yang bisa dilindas dengan mudah.
Ada kecenderungan bahwa PTN akan menjadi pemegang lisensi utama dan hak monopolistik dalam penerimaan mahasiswa baru, jika PTS dibiarkan menerima vonis kematiannya. Jikapun ada PTS yang tersisa, maka PTS ini dalam kondisi sesak nafas dan tinggal menunggu gulung tikarnya.
PTN misalnya diberi kesempatan membuka jalur penerimaan mahasiswa baru sebanyak-banyaknya. Negara tak pernah menentukan kuota mengenai jumlah mahasiswa baru yang bisa diterima, sehingga hal ini digunakan oleh PTN untuk mengemas dirinya sebagai perusahaan raksasa yang menggusur dan menggilas perusahaan bermodal kecil seperti PTS.
Keempat, dari sudut perlakuan, itu jelas menunjukkan praktik diskriminasi, mengingat PTN yang secara historis berstigmakan “anak negara”, adalah primadona setiap calon mahasiswa dan orang tua, yang selama ini menempatkannya sebagai opsi privilitas, sementara PTS hanya PT berklas underprivillege. Stigma “Perguruan Tinggi Negeri” masihlah sebagai cermin wajah negara yang menghalalkan ambiguitas dalam mengelola dunia pendidikan tinggi.
Calon mahasiswa dengan sendirinya tergiring untuk masuk PTN akibat pasar baru yang diciptakan oleh PTN yang diabsahkan oleh negara, sementara PTS tak akan berani membuka pasar baru seiring dengan regulasi negara yang melarangnya dengan keras, kalau tak dibilang represip.
Berkat regulasi yang dikeluarkan oleh negara, keuntungan PTN lainnya sangat banyak, misalnya PTN dengan mudah bisa menawarkan kepada calon mahasiswa program unggulan, yang program spesial ini bisa dijadikan lahan mengeruk modal sebesar-besarnya dari calon mahasiswa.
Di fakultas atau program unggulan, PTN bisa mengeruk dana ratusan juta “hanya” dari seorang mahasiswa lewat jalur sayap yang direstui negara, sementara PTS sudah dipatok dengan kuota 50 orang mahasiswa, tanpa boleh menambah seorangpun sebagai cadangannya Akibatnya, PTS yang punya program unggulan ini tetap saja kesulitan mengongkosi biaya operasional penyelenggaraan proses belajar mengajarnya. PTS ini masih akan dihadapkan dengan “kemiskinan” yang membelitnya, yang membuatnya kesulitan mengokohkan kuda-kuda untuk memenangkan daya saing dengan PTN yang sudah mapan sumberdaya ekonominya.
Diskresi yang membenarkan cara monopolistik itu dapat dikategorikan bertentangan dengan pasal 1 UU Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang menyebut, bahwa praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Berpijak pada produk yuridis itu jelas mendeskripsikan, bahwa negara telah membuka kran terbukanya praktik monopolistik dan persaingan usaha secara tidak sehat. PTN telah diberi kesempatan membuka berbagai jalur secara liberalistik dengan modal utama dan istimewa dari pemerintah, baik suprastruktur maupun infrastruktur, yang membuatnya mesti unggul dibandingkan dengan PTS.
Pasar mahasiswa merupakan pasar empuk, strategis, dan fundamental, pasalnya dari pasar inilah keberlanjutan hidup dan kejayaan perguruan tinggi ditentukan, apalagi PTS yang secara umum mengandalkan sumberdaya ekonominya dari mahasiswa. PT yang hebat menguasai pasar mahasiswa tergolong sebagai PT yang andal dalam mencari investor istimewa.
Jika negara memang punya political wiil dalam menyikapi kondisi riil PTS, seharusnya negara tidak tergesa-gesa menawarkan solusi paradok atau tidak keburu mengikuti saran komunitas PTN yang berharap kompetisi semakin mengecil dan mengerucut, yang ujung-ujungnya menempatkan PTN sebagai pemegang lisensi hak monopoli pasar mahasiswa.
Dalam kasus itu, negara selayaknya merumuskan regulasi progresip yang menggariskan tidak semata pada kuota PTN, tetapi juga standar evaluasi yang akuntabel terhadap proses penjaringan calon-calon mahasiswa dan proses pembelajaran yang dilakukan PTN, pasalnya tak sedikit input PTN ini yang baru dua-tiga semester “hijrah” ke PTS akibat indek prestasinya dibawah standar. Kalau PTS yang secara umum “kurus” terus diawasi dan dievaluasi, siapa yang berani menggaransi kalau PTN yang sarat kolesterol (kegemukan) tak mengidap penyakit dalam proses pembelajarannya? [,,]
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,