Realita menegenaskan sekaligus menjadi himpitan baru setelah mereka nyaris tak bisa bernafas akibat kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak). Itu belum termasuk mulai menghilangnya pasokan pupuk jenis NPK di pasaran.
Sejumlah petani tembakau di wilayah kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, mengaku serangan hama wereng itu lebih diakibatkan telatnya proses pemupukan. Sebab, pupuk berjenis NPK yang biasa dipakai setelah proses tanam, menghilang dari paredaran.
Mulyono, (48), salah satu petani tembakau asal Dusun Ngepung, Desa Kabuh, Kecamatan Kabuh, mengaku tanaman tembakau yang baru beranjak satu minggu itu mulai rusak dan mengering. Hama wereng yang biasanya bisa diusir dengan proses pemupukan, saat ini tidak bisa dilakukan. Lantaran pupuk bersubsidi tidak pernah ia dapat.
“Biasanya kita antisipasi dengan melakukan pemupukan. Namun, karena pupuk sendiri susah didapat, terpaksa kita tanam ulang,” ujar Mulyono.
Pilihan melakukan proses tanam ulang (sulam) terhadap tembakau mereka yang sudah mengering dan mati itu, menurut para petani adalah langkah yang paling efektif, kendati mereka terpaksa harus merogoh kocek untuk biaya produksi yang lebih besar.
“Mau bagaimana lag, Mas. Wong pupuknya sendiri tidak ada. Salah satu cara, ya tanam ulang,” katanya getir.
Kendati demikian, para petani di wilayah Kecamatan Kabuh tersebut, mengaku rugi akibat biaya pengeluaran mereka kian membengkak. Para petani mengaku lebih memilih melakukan pemupukan dari pada harus melakukan tanam sulam.
“Kalau pakai pupuk, kita bisa irit biaya sampai 20 persen. Tapi sekarang pupuk sedang langak,” tandas mereka.
Dilema antara kesehatan masyarakat, pendapatan negara dan lapangan kerja ini sepintas bisa dipahami ketika Indonesia dihadapkan pada masalah pengangguran yang meningkat dari 4,66 persen tahun 1997 menjadi 8,1 persenpada tahun 2001. Sementara dampak langsung akibat rokok tidak segera tampak.
Dampak merokok yang baru kelihatan 20-25 tahun kemudian mungkin terlalu panjang untuk dipikirkan sekarang, sementara keuntungan saat ini sudah jelas kelihatan di depan mata, apalagi kalau harus meresiko hilangnya lapangan kerja.
Sebanyak 31,5 persen perokok dewasa yang tidak tahu bahaya dan tidak berdaya melawan ketagihan merokok menghabiskan tak kurang dari Rp 8,5 triliun per bulan bila pukul rata harga rokok Rp 400,- per batang, atau Rp 102 triliun per tahun; Ini baru untuk membeli rokoknya saja, belum terhitung biaya sakit, kehilangan waktu kerja dan kematian dini.
Sementara, situasi tenaga kerja pertembakauan selama periode penurunan konsumsi Yang dimaksudkan dengan tenaga kerja pertembakauan adalah pekerja yang kegiatannya eksklusif berhubungan dengan tembakau, bukan lapangan kerja yang sumber pendaptannya bisa berasal dari produk lain bukan tembakau. Statistik Industri Besar dan
Sedang yang diterbitkan BPS tahun 1997-2004 memberikan gambaran kenaikan tahunan yang persisten dari pekerja industri pengolahan tembakau.
Selama periode 1998-2002 jumlah pekerja naik 11% dari 238.848 menjadi 265.378. Sementara data yang tersedia di Ditjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian tahun 1998-2001 menunjukkan jumlah petani tembakau naik lebih dari 2 kali lipat dari 400.215 tahun 1998 menjadi 913.208 tahun 2001, dan petani cengkeh naik 23,5% dari 1.198.856 tahun 1999 menjadi 1.480.000 tahun 2002 (Depkes, Buku Fakta Tembakau Indonesia, 2004).

Dengan menyandingkan data konsumsi dengan data ketenagaan pada kurun waktu yang sama, tampak tidak adanya penurunan tenaga kerja, setidaknya dalam jangka pendek.
Khususnya untuk Indonesia, sistem cukai berjenjang memberikan peluang bagi pecandu rokok untuk mengalihkan konsumsinya ke rokok yang lebih murah apabila harga dinaikkan, karena rokok adalah adiktif sehingga demandnya inelastik;
Sementara “privilege” pemberlakuan tariff cukai rendah pada industri rokok buatan tangan ikut menjamin kelangsungan tenaga kerja bidang pertembakauan.
Dilema ‘Emas Hijau‘
Di Indonesia industri rokok begitu digdaya, bahkan jumawa. Tak hanya secara ekonomi, tapi juga sosial, politik, bahkan kultural. Saat puncak krisis ekonomi sekalipun (1997), satu-satunya entitas industri yang masih membukukan nilai laba hanyalah industri rokok.
Industri lain ibarat hidup segan mati tak hendak. Ini ironi, ketika mayoritas masyarakat mengalami pailit ekonomi, sebatang rokok justru menjadi tumpahan pelarian sosial yang efektif. Pundi-pundi industri rokok terus berdenyut berkat derasnya sulutan rokok konsumen kendati fulus konsumen lesu darah.
Betapapun digdaya, toh menjadi sangat naif jika pemerintah menyanjung-nyanjung industri rokok setinggi langit hanya karena industri rokok memberikan suntikan cukai dan pajak sebesar Rp 50 triliun (2006). Menurut pemerintah, via Rp 50 triliun industri rokok berkontribusi signifikan terhadap pencerdasan bangsa dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Benar industri rokok telah menggelontorkan “darah segar” bagi cash flow anggaran pendapatan dan belanja negara. Pendapatan cukai 90 persen berasal dari cukai rokok, sementara kontribusi alkohol/etil alkohol hanya 10 persen.
Pemerintah praktis tidak berkeringat untuk mendapatkannya. Namun, ini hanyalah fenomena semu, yang secara radikal harus dipertanyakan: benarkah industri rokok berkontribusi signifikan terhadap pengentasan masyarakat miskin dan pencerdasan anak bangsa?
Tunggu dulu. Angka Rp 50 triliun harus dilihat secara lebih cerdas, kreatif, dan dengan spektrum yang meluas. Sebab, di balik angka itu, sangat boleh jadi industri rokok justru menjadi pecundang atas pertumbuhan ekonomi karena sebenarnya industri rokoklah yang mengawetkan dan menciptakan “kemiskinan struktural”, di samping kemiskinan kultural yang diidap sebagian masyarakat Indonesia. Berikut adalah data tandingan untuk mematahkan argumen industri rokok adalah pengentas masyarakat miskin dan pencerdas anak bangsa.
Dari perspektif kesehatan, rokok/tembakau secara klinis terbukti menimbulkan dampak eksternal bagi kesehatan manusia. Pada sebatang rokok, terdapat 4.000 jenis racun kimia, 10 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Tak aneh jika di Indonesia, menurut Dr Soewarta Kosen (An Economic Analysis of Tobacco Use in Indonesia, National Institute of Health Research & Development, 2004).(amir castro)
http://www.dutamasyarakat.com/rubrik.php?id=30090&kat=Daerah
Dampak merokok yang baru kelihatan 20-25 tahun kemudian mungkin terlalu panjang untuk dipikirkan sekarang, sementara keuntungan saat ini sudah jelas kelihatan di depan mata, apalagi kalau harus meresiko hilangnya lapangan kerja.
Sebanyak 31,5 persen perokok dewasa yang tidak tahu bahaya dan tidak berdaya melawan ketagihan merokok menghabiskan tak kurang dari Rp 8,5 triliun per bulan bila pukul rata harga rokok Rp 400,- per batang, atau Rp 102 triliun per tahun; Ini baru untuk membeli rokoknya saja, belum terhitung biaya sakit, kehilangan waktu kerja dan kematian dini.
Sementara, situasi tenaga kerja pertembakauan selama periode penurunan konsumsi Yang dimaksudkan dengan tenaga kerja pertembakauan adalah pekerja yang kegiatannya eksklusif berhubungan dengan tembakau, bukan lapangan kerja yang sumber pendaptannya bisa berasal dari produk lain bukan tembakau. Statistik Industri Besar dan
Sedang yang diterbitkan BPS tahun 1997-2004 memberikan gambaran kenaikan tahunan yang persisten dari pekerja industri pengolahan tembakau.
Selama periode 1998-2002 jumlah pekerja naik 11% dari 238.848 menjadi 265.378. Sementara data yang tersedia di Ditjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian tahun 1998-2001 menunjukkan jumlah petani tembakau naik lebih dari 2 kali lipat dari 400.215 tahun 1998 menjadi 913.208 tahun 2001, dan petani cengkeh naik 23,5% dari 1.198.856 tahun 1999 menjadi 1.480.000 tahun 2002 (Depkes, Buku Fakta Tembakau Indonesia, 2004).
Dengan menyandingkan data konsumsi dengan data ketenagaan pada kurun waktu yang sama, tampak tidak adanya penurunan tenaga kerja, setidaknya dalam jangka pendek.
Khususnya untuk Indonesia, sistem cukai berjenjang memberikan peluang bagi pecandu rokok untuk mengalihkan konsumsinya ke rokok yang lebih murah apabila harga dinaikkan, karena rokok adalah adiktif sehingga demandnya inelastik;
Sementara “privilege” pemberlakuan tariff cukai rendah pada industri rokok buatan tangan ikut menjamin kelangsungan tenaga kerja bidang pertembakauan.
Dilema ‘Emas Hijau‘
Di Indonesia industri rokok begitu digdaya, bahkan jumawa. Tak hanya secara ekonomi, tapi juga sosial, politik, bahkan kultural. Saat puncak krisis ekonomi sekalipun (1997), satu-satunya entitas industri yang masih membukukan nilai laba hanyalah industri rokok.
Industri lain ibarat hidup segan mati tak hendak. Ini ironi, ketika mayoritas masyarakat mengalami pailit ekonomi, sebatang rokok justru menjadi tumpahan pelarian sosial yang efektif. Pundi-pundi industri rokok terus berdenyut berkat derasnya sulutan rokok konsumen kendati fulus konsumen lesu darah.
Betapapun digdaya, toh menjadi sangat naif jika pemerintah menyanjung-nyanjung industri rokok setinggi langit hanya karena industri rokok memberikan suntikan cukai dan pajak sebesar Rp 50 triliun (2006). Menurut pemerintah, via Rp 50 triliun industri rokok berkontribusi signifikan terhadap pencerdasan bangsa dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Benar industri rokok telah menggelontorkan “darah segar” bagi cash flow anggaran pendapatan dan belanja negara. Pendapatan cukai 90 persen berasal dari cukai rokok, sementara kontribusi alkohol/etil alkohol hanya 10 persen.
Pemerintah praktis tidak berkeringat untuk mendapatkannya. Namun, ini hanyalah fenomena semu, yang secara radikal harus dipertanyakan: benarkah industri rokok berkontribusi signifikan terhadap pengentasan masyarakat miskin dan pencerdasan anak bangsa?
Tunggu dulu. Angka Rp 50 triliun harus dilihat secara lebih cerdas, kreatif, dan dengan spektrum yang meluas. Sebab, di balik angka itu, sangat boleh jadi industri rokok justru menjadi pecundang atas pertumbuhan ekonomi karena sebenarnya industri rokoklah yang mengawetkan dan menciptakan “kemiskinan struktural”, di samping kemiskinan kultural yang diidap sebagian masyarakat Indonesia. Berikut adalah data tandingan untuk mematahkan argumen industri rokok adalah pengentas masyarakat miskin dan pencerdas anak bangsa.
Dari perspektif kesehatan, rokok/tembakau secara klinis terbukti menimbulkan dampak eksternal bagi kesehatan manusia. Pada sebatang rokok, terdapat 4.000 jenis racun kimia, 10 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Tak aneh jika di Indonesia, menurut Dr Soewarta Kosen (An Economic Analysis of Tobacco Use in Indonesia, National Institute of Health Research & Development, 2004).(amir castro)
http://www.dutamasyarakat.com/rubrik.php?id=30090&kat=Daerah
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,