Berlindung Diketiak Pejabat yang 'Berdarah'
Bak berlindung di ketiak pejabat yang berdarah, saat mata dunia tercoreng melihat puluhan orang tewas mengenaskan diantara kebutuhan perut dan dambaa'an kesejahteraan. Deritanya, perjuangannya, tangis dan jerit hatinya, seperti memecah besi yang kokoh.
Tak mengenal usia dan gender. Tua dan muda, lelaki dan perempuan. Kanak-kanak dan dewasa. Kakek-nenek. Semua menengadah menatap angkasa sembari berharap, kapan kesejahteraan mereka dapat dipenuhi Negara?.
Bak berlindung di ketiak pejabat yang berdarah, saat mata dunia tercoreng melihat puluhan orang tewas mengenaskan diantara kebutuhan perut dan dambaa'an kesejahteraan. Deritanya, perjuangannya, tangis dan jerit hatinya, seperti memecah besi yang kokoh.
Tak mengenal usia dan gender. Tua dan muda, lelaki dan perempuan. Kanak-kanak dan dewasa. Kakek-nenek. Semua menengadah menatap angkasa sembari berharap, kapan kesejahteraan mereka dapat dipenuhi Negara?.
Tregedi zakat maut 15 September 2008 di Pasuruan. Menjadi saksi ribuan orang yang sebagian besar perempuan, berdesak-desakan menanti giliran mendapatkan secuil harapan. Cuaca Panas menyengat di bulan puasa, tetap tak menciutkan rasa haus dan dahaga di kerongkongan. Peluh bercucuran. Di pengujung hari, 21 orang perempuan tewas, hanya untuk mendapatkan uang zakat Rp 30 ribu.
Bukan hanya itu, di belahan lain di negeri kita Indonesia, masih banya orang-orang berdesak-desakan. Menahan Haus, peluh, dan deras keringat mengucur dari tubuh, hanya bagian dari sebuah harapan mendapat duit BLT Rp 300 ribu, dari uluran tangan negara. Tak banyak, dari kejadian tersebut ada yang sempat pingsan dan terluka. Bahkan ada juga yang sampai berkelahi, lantaran tak mendapatkan jatah.
Di negeri ini lah, kaum miskin tak ubahnya parade tontonan. Mereka ada di mana-mana, dimobilisasi untuk kepentingan apapun, baik politik atau ekonomi. Tak jarang jika hal itu bisa memunculkan banyak risiko. Meski bukan pemendangan indah, namun, orang miskin yang berdesak-desakan saat antre untuk mendapatkan bantuan, seperti bantuan langsung tunai (BLT), dari negara maupun santuan kaum dermawan. Selalu saja ada kisah mereka yang terluka.
Meski begitu, pemberian bantuan secara langsung kepada masyarakat miskin harus diakui memiliki dampak pencitraan kuat, entah peneguhan status sosial, entah juga status sosial personal atau negara.
Berdesakan memperebutkan sejumlah uang menunjukkan citra kuasa dan bajik pada sang pemberi bantuan. Jika ini terkait kedermawanan personal, maka yang bersangkutan akan menjadi tokoh masyarakat. Jika terkait pemerintah, maka pemberian bantuan memunculkan citra sebuah rezim yang peduli dengan wong cilik.
"Ini tragis. Penyakit sosial macam ini bisa berbahaya bagi kader bangsa," kata Eksan, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam II Jember.
Padahal, jika mau jujur, apa yang terjadi di Pasuruan adalah sinyal bahwa negara telah gagal menyejahterakan rakyat. Pemerintah belum bisa menjalankan amanat Undang-Undang Dasar yang menyatakan orang miskin dipelihara negara.
Dalam kasus Pasuruan, semua pihak tidak hanya menyalahkan pemberi bantuan yang lalai. Namun, setidaknya hal ini bisa menjadi refleksi, atau dijadikan otokritik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Sudahkan sistem demokrasi kita memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan rakyat selama ini. Jangan-jangan kita hanya terjebak euforia demokrasi yang melupakan rakyat kecil dan hanya menjadikan rakyat miskin sebagai objek eksploitasi," katanya.
Dengan nada getir, Eksan membandingkan besarnya anggaran yang digunakan untuk prosesi politik formal seperti pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden, dengan anggaran yang dikeluarkan untuk pemberdayaan kaum miskin.
"Sudahkan dana yang dikeluarkan untuk proses demokratis itu setimpal bagi rakyat, ? Justru yang ada adalah kekerdilan otak para pejabat itu sendiri," pungkasnya.(bjt/ami)
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,