
Para Korban Salah Tangkap Menggugat Anggaran Naik Makin Tidak Profesional
Pemerintah dan DPR tentu sudah memiliki alasan-alasan tersendiri untuk menaikkan anggaran polisi. Jika dalam APBN 2008 kepolisian mendapat anggaran sebesar Rp 21,2 triliun, kini dalam RAPBN 2009 bertambah menjadi Rp.25,7 triliun atau naik 21 persen. Sudah sebandingkah tugas polisi dengan keinginan masyarakat.
Liputan : M AMIRUDDIN
Dengan kenaikan anggaran sebesar itu diharapkan aparat kepolisian akan bertambah profesional di dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai aparat penegak hukum, setahu saya salah satu tugasnya adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun kenyataannya aparat kepolisian justru semakin jauh dari harapan masyarakat.
Kasus salah tangkap terhadap Imam Hambali alias Kemat, Devid Eka Priyanto dan Maman Sugianto, atas kasus pembunuhan Asrori alias Aldo, telah mengindikasikan bahwa aparat kepolisian tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Di bawah siksaan berat, todongan pistol dan intimidasi, ketiganya dipaksa mengakui sebagai pembunuh Asrori. Bahkan kini Devid dan Imam Hambali tengah menjalani hukuman 12 dan 17 tahun penjara. Sedang Maman sedang menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jombang.
Sejumlah warga, mengatakan kejadian ini tentu saja merupakan tindakan yang gegabah serta dapat menimbulkan antipati terhadap institusi kepolisian. Korban salah tangkap merupakan bentuk ketidak profesionalan aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya, polri tidak becus dan tidak mampu melindungi masyarakat secara hukum. Anggota polisi yang melakukan kesalahan seperti ini harus diproses secara hukum agar kasus salah tangkap seperti ini tidak terulang lagi.
Polisi sepertinya tidak kapok-kapok dan tidak mau belajar dari kesalahan masa lalu yang telah berkali-kali salah tangkap. Kasus seperti ini sering terjadi tetapi sepertinya tidak ada pembelajaran bagi polri. Pimpinan polri tidak cukup hanya minta maaf, tapi harus merubah secara total sistem penyidikan dengan siksaan dan paksaan.
Kalau mau diungkap secara jujur, sebenarnya masih banyak kasus-kasus salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian. Tapi karena para korban salah tangkap ini selalu berada di bawah ancaman sehingga mereka menerima nasib dengan menjalani hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
Kita rakyat Indonesia sangat berharap agar sistem kerja aparat kepolisian dievaluasi, karena penetapan orang tak bersalah sebagai tersangka adalah sebuah kekeliruan besar dan kasus ini adalah suatu bentuk pelanggaran HAM dan harus diproses secara hukum yang berlaku di Indonesia.
Pemerintah dan DPR tentu sudah memiliki alasan-alasan tersendiri untuk menaikkan anggaran polisi. Jika dalam APBN 2008 kepolisian mendapat anggaran sebesar Rp 21,2 triliun, kini dalam RAPBN 2009 bertambah menjadi Rp.25,7 triliun atau naik 21 persen. Sudah sebandingkah tugas polisi dengan keinginan masyarakat.
Liputan : M AMIRUDDIN
Dengan kenaikan anggaran sebesar itu diharapkan aparat kepolisian akan bertambah profesional di dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai aparat penegak hukum, setahu saya salah satu tugasnya adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun kenyataannya aparat kepolisian justru semakin jauh dari harapan masyarakat.
Kasus salah tangkap terhadap Imam Hambali alias Kemat, Devid Eka Priyanto dan Maman Sugianto, atas kasus pembunuhan Asrori alias Aldo, telah mengindikasikan bahwa aparat kepolisian tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Di bawah siksaan berat, todongan pistol dan intimidasi, ketiganya dipaksa mengakui sebagai pembunuh Asrori. Bahkan kini Devid dan Imam Hambali tengah menjalani hukuman 12 dan 17 tahun penjara. Sedang Maman sedang menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jombang.
Sejumlah warga, mengatakan kejadian ini tentu saja merupakan tindakan yang gegabah serta dapat menimbulkan antipati terhadap institusi kepolisian. Korban salah tangkap merupakan bentuk ketidak profesionalan aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya, polri tidak becus dan tidak mampu melindungi masyarakat secara hukum. Anggota polisi yang melakukan kesalahan seperti ini harus diproses secara hukum agar kasus salah tangkap seperti ini tidak terulang lagi.
Polisi sepertinya tidak kapok-kapok dan tidak mau belajar dari kesalahan masa lalu yang telah berkali-kali salah tangkap. Kasus seperti ini sering terjadi tetapi sepertinya tidak ada pembelajaran bagi polri. Pimpinan polri tidak cukup hanya minta maaf, tapi harus merubah secara total sistem penyidikan dengan siksaan dan paksaan.
Kalau mau diungkap secara jujur, sebenarnya masih banyak kasus-kasus salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian. Tapi karena para korban salah tangkap ini selalu berada di bawah ancaman sehingga mereka menerima nasib dengan menjalani hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
Kita rakyat Indonesia sangat berharap agar sistem kerja aparat kepolisian dievaluasi, karena penetapan orang tak bersalah sebagai tersangka adalah sebuah kekeliruan besar dan kasus ini adalah suatu bentuk pelanggaran HAM dan harus diproses secara hukum yang berlaku di Indonesia.
Sejatinya, setiap hak asasi manusia di muka bumi ini memang harus dihormati tanpa terkecuali untuk menghindari berbagai permasalahan kemanusiaan. Melihat dengan mata jernih, penghargaan terhadap HAM di negeri ini masih tanda tanya, bahkan nasib yang terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM harus diakui kian menunjukkan tanda-tanda putus asa.
Sebagai misal adalah kasus pengusutan kematian pejuang HAM Munir yang sampai kini belum menemukan titik terang, bahkan menguap entah kemana. Pemerintah terlihat tidak mempunyai keinginan politik serius untuk menangani kasus pelanggaran HAM tersebut. Kalangan DPR juga menunjukkan sikap yang sama.
Fakta lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Indonesia akhirnya membuat masyarakat tak bisa tinggal diam. Masyarakat menggelar berbagai macam aksi guna meminta pemerintah menuntaskan permasalahan HAM yang terjadi di tanah air.
Masyarakat tentu tak akan lelah mengingatkan pemerintah agar tidak melupakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang selama ini terjadi. Kenyataan belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran HAM merupakan ironi tersendiri mengingat roda reformasi di negeri ini telah berjalan sembilan tahun lebih. Bukankah ada UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? UU yang mengatur pembentukan peradilan HAM untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat itu bisa untuk mengusut kasus pelanggaran HAM seperti tragedi Trisakti, kasus Semanggi I dan II, dan kerusuhan Mei 1998.
Namun demikian, apa mau dikata, perangkat hukum tersebut, bahkan konvensi-konvensi mengenai HAM yang telah ditandatangani oleh negara acap kali sekadar pepesan kosong dan tak bernyawa sebagaimana mestinya.
Berbicara lebih jauh, pengertian dan makna HAM juga perlu mendapatkan perenungan bersama. Mengkaji pengertian dan makna HAM tampaknya perlu dilakukan. Arti HAM dan batasan-batasannya perlu dikaji ulang, apalagi yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kematian karena mengkritisi kebijakan negara yang otoriter, kelaparan, gizi buruk, kemiskinan, menjadi TKI di negeri orang tanpa perlindungan yang jelas, pendidikan yang mahal, fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau, korban salah tangkap adalah beberapa contoh persoalan kemanusiaan yang serius di negara ini. Dan, pengabaian hak rakyat oleh negara adalah kejahatan kemanusiaan yang sama seriusnya. (*)
Tugas Mulia Polisi
Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, penga-yoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 5
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara ke-amanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayo-man, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.http://www.dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=1034
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,