Performa wartawan yang biasa terkenal dengan kegagahannya, pertanyaan tajamnya, serta dengan bermodalkan notes dan kamera dikala berada di depan nara sumber, baik artis, presiden sampai seorang petani maupun pengemis. Torehan tintanya ternyata mampu untuk mengubah sejarah dan mengubah roda kehidupan sosial. Seperti jaman Budi Oetomo,,
Yang arogan menjadi persuasif dan demokratis, yang kasar menjadi lembut dan pejabat korup bisa menjadi takut dan tunduk dengan wartawan. Atas itulah, maka orang yang biasa berprofesi sebagai wartawan menjadi tak pernah bisa nyenyak tidur. Baik dari pejabat setingkat lurah, camat, mantri polisi, pasti akan merasa risih terhadap wartawan jika salah satu dari mereka tak bekerja dengan benar mengurusi rakyatnya.
Oleh sebab itu, sungguh sangat disayangkan pabila torehan tintanya yang sangat diharapkan jutaan masyarakat, ternyata membangkitkan amarah dan menimbulkan perpecahan serta permusuhan antar sesama. Lantaran dipicu oleh tidak jelinya seroang wartawan melihat nilai sebuah berita serta keseimbangan kelayakan publikasi.

Dengan kata lain, nilai sebuah berita itu sendiri hanya didasarkan pada kelayakan daya jual atau konsumsi. Seperti halnya penayangan berita video mesum, pembantaian dan lainnya yang berujung pada pengaruh psikologis dan perilaku pengkonsumsi.
Oleh sebab itu, jika dengan banyaknya media massa serta menjamurnya jumlah wartawan pada saat ini, banyak juga ada yang memanfaatkan profesi wartawan untuk mencari keuntungan sendiri. Terlebih, dengan membutakan mata penanya, seorang wartawan tersebut rela mengorbankan perasaan humanistiknya demi mengejar keuntungan (uang).
Memang, seperti yang pernah saya utarakan di blog ini, (http://ameerlawan.blogspot.com/2008/08/jangan-bangga-jadi-jurnalis_10.html), bahwa dikala kesejehteraan yang kita terima dari setiap perusahaan media tak sebandingdengan pengeluaran kita sehari-hari. Maka setiap apapun bisa menjadi ajang meraup keuntungan dengan mengatasnamakan seorang wartawan....
^_^
BalasHapus;(
BalasHapus