
Phobia Si Tuyul
Kunci itu terletak pada kepercayaan dan rasa penghargaan, begitulah kira-kira yang dilontarkan Budi Atmajaya, (26 tahun), Jurnalis swasta yang bertugas di salah satu kabupaten kecil, di sebuah wilayah Timur Indonesia.
Budi yang mempunyai tubuh kurus nan kusam itupun berdiri ditengah keramaian. Sebuah benda serta tas besar, sesekali ia jinjing dan letakkan di punggungnya yang kian terlihat lusuh. “Ah.. semakin sepi saja, sejak sepakan karyaku tak pernah terpakai,” gerutunya, sembari sesekali menundukkan kepala.
Ya, seperti itulah keseharian Budi, yang bekerja sebegai tuyul jurnalis. Menumpang nama kawan, orang lain, untuk mencari sesuap nasi. Semua aktivitas yang ia lakukan, hanya dibatasi dengan rasa saling percaya dan hubungan sosial antar sesama. Jika lingkungan sudah tidak sehat, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Semunya bisa berubah lebih kejam dari biasanya..
“Menjadi tuyul yang diperkejakan..!! memang mengemban kepercayaan dan tanggung jawab yang sangat besar. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri, nama orang lain, juga sangat memerlukan energi yang cukup besar. So dijalani saja bos..,” sahut salah satu teman profesi Budi, sembari mengajak berlalu.
Itu bisa lebih dari sebuah kerja profesional. Profesionalalisme, se-akan sedikit dikesampingkan jika hubungan sosial kita terjadi perubahan. Dengan kata lain, semua bisa terotasi, kala kita tak mampu memberi sumbangsi besar kepada orang kedua.
Kata kehilangan produktifitas, hingga perkataan tak bisa apa-apa, seolah menjadi hal biasa. Meski terkadang sangat dilema jika produktifitas itu tak didukung dari sebuah karya yang diberikan ke pihak kedua.
Ibarat sebuah mesin yang biasa dapat bergerak dengan cepat dan menghasilkan, kini mulai sedikit berkurang akibat kehilangan energi. Aktivitas dan segala keringat, bisa berubah menjadi sebuah cerita saja. Terkadang, disela-sela itu, hubungan sosial juga bisa terotasi saat hubungan industri ini tak lagi dianggap proporsional..(kau tak layak ikut aku).
“Kalau seperti itu, disher-kan saja. karena mau tidak mau, dia juga beruntung, mendapat setengah keringat yang sudah kau biarkan kering,” lanjutnya, seraya membelokkan setir motor yang ia tumpangi, ke sebuah warung dibelakang Mall.
Dengan dahi berkerut, topik ‘sang kuli’ mulai kembali disentil. Dipojok meja belakang warung itu, obrolan kembali menghangat seraya melupakan padatnya lalu lintas seberang. Budi menyatakan, jika menjadi kuli itu sangatlah sengsara. Tapi setidaknya dengan kesengsaraan itu, dia tetap menyatakan akan tetap bertahan.
“Kita mau apa? Oportunis, Pragmatis, Apatis, atau Idialis ? hanya itu yang bisa dipilih. Tergantung kita mau kemana dan apa yang kita butuhkan ?. Jika Segalanya diukur dengan jawaban dari tujuan dan fungsi sosial masing-masing person dan disaat kehidupan kita semakin mengkristal dibawah cengkeraman idiologi kapitalis, candu borjuasipun semakin nyata, segalanya akan diukur dengan untung rugi. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan yang besifat sesaat. Itu sangat salah dan perlu dihindari,” pungkas Budi.
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,