Mengenai Televisi “Nasional” Sepanjang 2010
Kita berdiri di ambang peralihan dari tahun 2010 yang segera ditinggalkan menuju 2011 dalam satu hari mendatang. Sepanjang satu tahun ke belakang, media televisi kita telah memberikan warna dan pengaruh dalam berbagai perlintasan peristiwa. Dengan penetrasinya yang sedemikian kuat, kita turut menjadi manusia-manusia Indonesia yang disibukkan, dibela, dikejutkan, diadili, diganggu, maupun diuntungkan dalam terciptanya warna dan pengaruh yang ada dalam siaran televisi tersebut. Namun, apakah warna dan pengaruh itu baik adanya—atau malah buruk adanya, itulah yang ingin disasar dalam catatan akhir tahun ini.
Catatan ini mewujud dari keinginan untuk menyuarakan kepentingan masyarakat akan kebutuhan tayangan televisi yang mendidik dan bermanfaat. Menyehatkan, sekaligus mencerdaskan. Beberapa hal yang tercatat di sini, tentu, tidak mungkin mengakomodasi semua perihal. Maka, selain menyadari bahwa banyak hal yang mungkin luput dicatat di sini, catatan ini pun membidik persoalannya hanya pada stasiun televisi “nasional”.
Remotivi sejauh ini telah melakukan observasi terbatas terhadap sejumlah tayangan televisi yang hasilnya terangkum dalam catatan-catatan berikut ini.
Klaim sejumlah stasiun televisi sebagai televisi nasional tidak diimbangi dengan perspektif keindonesiaan yang menghimpun kemajemukan. Ada begitu banyak stasiun televisi yang menyebut dirinya nasional namun gagal memberi ruang aksentuasi bagi lokalitas dan partikularitas. Nyaris semua tayangan yang muncul, dengan congkak, sekadar menghadirkan hiruk pikuk persoalan Jakarta seraya menihilkan suara-suara lain yang datang dari berbagai tempat di Indonesia. Indonesia direduksi menjadi sekadar Jakarta yang pada ujungnya berakhir dengan terbentangnya jarak antara apa yang ditayangkan dengan kenyataan sehari-hari yang dihadapi, justru, oleh sebagian besar masyarakat.
Pada sinetron-sinetron yang membanjiri layar kaca, misalnya, masyarakat Indonesia yang terdiri dari keberbagaian ini justru disempitkan dan dimiskinkan maknanya menjadi sebongkah tatanan nilai yang seragam, monolit, dan terpusat. Masyarakat di pesisir Enggano mesti tahan dicekoki dengan tema-tema sinetron yang tidak ada relevansinya dengan kenyataan hidup mereka sehari-hari. Atau masyarakat di Sidoarjo yang dicekoki dengan citra bling-bling dan kemewahan warga Jakarta melalui sinetron, di tengah ketidaktahuan kapan mereka akan mendapatkan kembali hak atas rumah setelah ditelan oleh lumpur yang ganas.
Kejakartasentrisan ini pun ditemukan sangat mencolok pada tayangan-tayangan bercorak perjalanan yang memotret wajah lain dari Indonesia. Segala sesuatu dipandang lain dan aneh, karena kacamata Jakartalah yang dipakai. Dan karena kejakartaan, setiap “tamu” yang hadir harus bertingkah menjadi juru selamat dan ratu adil bagi warga yang dianggap “kampung”. Maka, tak heran fenomena seperti ini menjadi marak: meliyankan yang kita, dan mengkitakan yang liyan. Ada situasi anomik, sejenis keterasingan yang berangsur-angsur tumbuh antara apa yang masyarakat saksikan dengan kenyataan yang mesti ditempuh sepanjang hari.
Selain Jika Aku Menjadi, Tukar Nasib dan berbagai tayangan sinetron yang terserak nyaris di semua stasiun televisi, hal paling ekstrem dari paradigma ini, terwujud dalam tayangan Primitive Runaway yang bernada melecehkan dan berbau rasis terhadap suatu kelompok masyarakat.
Dalam banyak kesempatan, tayangan berita nyaris selalu kehilangan independensi dan netralitasnya. Apa yang disebut sebagai media massa tidak merepresentasikan sikap dan kebutuhan khalayak lantaran kerapnya campur tangan pemilik modal dalam isi pemberitaan. Karut marut ini semakin menjadi bila pemberitaan mengangkat konflik politik dan tema seputar anak perusahaan lain yang dimiliki para pemilik modal stasiun televisi yang bersangkutan. Layar televisi dijadikan gelanggang pertikaian antarkekuatan politik besar yang, nahasnya, mendaulat pemirsa sebagai korban. Kompetisi beranjak menjadi sejenis pertarungan opini yang tak lagi jelas apa relevansinya bagi kepentingan publik. Gaya pewartaan TV One dan Metro TV adalah dua di antara contoh-contoh lain yang dapat diungkapkan.
Ketidakmampuan membedakan arena “privat” dan “publik” adalah perkara lain yang patut dicatat. Gagapnya stasiun televisi dalam membedakan kedua ranah ini, kerap melahirkan produk-produk tayangan yang sekadar mengandalkan sensasi, bukan substansi. Dramatisasi, bukan edukasi. Wilayah paling pribadi dari seorang individu dirampas atas nama kebebasan pers, keterbukaan berbagi informasi, dan hiburan. Apakah kebanalan semacam itu melanggar kepatutan dan hak yang dimiliki manusia sebagai warga negara—tidak sekalipun menjadi pertimbangan. Yang jelas, media televisi sekonyong-konyong beranjak menjadi polisi moral yang menentukan soal baik dan buruk sebuah perilaku sambil membongkar perihal-perihal yang tak ada urusannya dengan kemaslahatan publik. Infotainmen, Termehek-mehek, dan Uya Emang Kuya adalah contoh dari seunggun tayangan sejenis lainnya yang kami pandang ikut bertanggung jawab merusak keadaban publik.
Perbincangan tentang paras masa depan Indonesia adalah perbincangan tentang bagaimana anak-anak belajar dan mendulang pengalaman mereka di hari ini. Tayangan yang sarat dengan kekerasan—verbal maupun nonverbal—telanjur dianggap sebagai perihal lumrah dan menciptakan sejenis habituasi (pembiasaan) baru dalam hubungan antarmanusia. Hal itu dapat dengan mudah disimak dalam berbagai tayangan berita yang sejak di menit-menit pertama lazim menyuguhkan adegan-adegan kekerasan secara telanjang. Yang tak kalah mengenaskan dapat ditemukan dalam berbagai tayangan fiksi seperti sinetron, film kartun yang mengilustrasikan kekerasan, dan berbagai film laga yang ditayangkan pada jam ketika anak-anak masih menyaksikan tayangan televisi. Tayangan yang sehat dan mencerdaskan bagi anak-anak adalah kemestian yang wajib dipenuhi oleh semua stasiun televisi. Sebagai tanggung jawab dan tekad yang membatu untuk memastikan paras Indonesia yang bersemi tumbuh di masa depan tanpa benih-benih kekerasan.
Televisi adalah benda yang netral. Di tangan yang salah, ia bisa jahat sejahat-jahatnya. Pun bisa baik sebaik-baiknya, di tangan yang benar. Mengingat kekuatan daya raih dan bujuknya, harusnya dijadikan kendaraan strategis dalam membangun keadaban masyarakat Indonesia ke depan. Bahwa televisi janganlah melulu digunakan untuk membujuk penonton menjadi konsumtif, membiasakan kekerasan, mempromosikan pemaknaan religius yang dangkal, atau bahkan sekadar arena kepentingan politik banal. Kami percaya, kesadaran pelaku media—terlebih negara—yang baik terhadap peran positif yang bisa dimainkan televisi, akan membuat cerita lain dari kepengapan yang membekap kita di hari-hari ini.
Kita berdiri di ambang peralihan dari tahun 2010 yang segera ditinggalkan menuju 2011 dalam satu hari mendatang. Sepanjang satu tahun ke belakang, media televisi kita telah memberikan warna dan pengaruh dalam berbagai perlintasan peristiwa. Dengan penetrasinya yang sedemikian kuat, kita turut menjadi manusia-manusia Indonesia yang disibukkan, dibela, dikejutkan, diadili, diganggu, maupun diuntungkan dalam terciptanya warna dan pengaruh yang ada dalam siaran televisi tersebut. Namun, apakah warna dan pengaruh itu baik adanya—atau malah buruk adanya, itulah yang ingin disasar dalam catatan akhir tahun ini.
Catatan ini mewujud dari keinginan untuk menyuarakan kepentingan masyarakat akan kebutuhan tayangan televisi yang mendidik dan bermanfaat. Menyehatkan, sekaligus mencerdaskan. Beberapa hal yang tercatat di sini, tentu, tidak mungkin mengakomodasi semua perihal. Maka, selain menyadari bahwa banyak hal yang mungkin luput dicatat di sini, catatan ini pun membidik persoalannya hanya pada stasiun televisi “nasional”.
Remotivi sejauh ini telah melakukan observasi terbatas terhadap sejumlah tayangan televisi yang hasilnya terangkum dalam catatan-catatan berikut ini.
Klaim sejumlah stasiun televisi sebagai televisi nasional tidak diimbangi dengan perspektif keindonesiaan yang menghimpun kemajemukan. Ada begitu banyak stasiun televisi yang menyebut dirinya nasional namun gagal memberi ruang aksentuasi bagi lokalitas dan partikularitas. Nyaris semua tayangan yang muncul, dengan congkak, sekadar menghadirkan hiruk pikuk persoalan Jakarta seraya menihilkan suara-suara lain yang datang dari berbagai tempat di Indonesia. Indonesia direduksi menjadi sekadar Jakarta yang pada ujungnya berakhir dengan terbentangnya jarak antara apa yang ditayangkan dengan kenyataan sehari-hari yang dihadapi, justru, oleh sebagian besar masyarakat.
Pada sinetron-sinetron yang membanjiri layar kaca, misalnya, masyarakat Indonesia yang terdiri dari keberbagaian ini justru disempitkan dan dimiskinkan maknanya menjadi sebongkah tatanan nilai yang seragam, monolit, dan terpusat. Masyarakat di pesisir Enggano mesti tahan dicekoki dengan tema-tema sinetron yang tidak ada relevansinya dengan kenyataan hidup mereka sehari-hari. Atau masyarakat di Sidoarjo yang dicekoki dengan citra bling-bling dan kemewahan warga Jakarta melalui sinetron, di tengah ketidaktahuan kapan mereka akan mendapatkan kembali hak atas rumah setelah ditelan oleh lumpur yang ganas.
Kejakartasentrisan ini pun ditemukan sangat mencolok pada tayangan-tayangan bercorak perjalanan yang memotret wajah lain dari Indonesia. Segala sesuatu dipandang lain dan aneh, karena kacamata Jakartalah yang dipakai. Dan karena kejakartaan, setiap “tamu” yang hadir harus bertingkah menjadi juru selamat dan ratu adil bagi warga yang dianggap “kampung”. Maka, tak heran fenomena seperti ini menjadi marak: meliyankan yang kita, dan mengkitakan yang liyan. Ada situasi anomik, sejenis keterasingan yang berangsur-angsur tumbuh antara apa yang masyarakat saksikan dengan kenyataan yang mesti ditempuh sepanjang hari.
Selain Jika Aku Menjadi, Tukar Nasib dan berbagai tayangan sinetron yang terserak nyaris di semua stasiun televisi, hal paling ekstrem dari paradigma ini, terwujud dalam tayangan Primitive Runaway yang bernada melecehkan dan berbau rasis terhadap suatu kelompok masyarakat.
Dalam banyak kesempatan, tayangan berita nyaris selalu kehilangan independensi dan netralitasnya. Apa yang disebut sebagai media massa tidak merepresentasikan sikap dan kebutuhan khalayak lantaran kerapnya campur tangan pemilik modal dalam isi pemberitaan. Karut marut ini semakin menjadi bila pemberitaan mengangkat konflik politik dan tema seputar anak perusahaan lain yang dimiliki para pemilik modal stasiun televisi yang bersangkutan. Layar televisi dijadikan gelanggang pertikaian antarkekuatan politik besar yang, nahasnya, mendaulat pemirsa sebagai korban. Kompetisi beranjak menjadi sejenis pertarungan opini yang tak lagi jelas apa relevansinya bagi kepentingan publik. Gaya pewartaan TV One dan Metro TV adalah dua di antara contoh-contoh lain yang dapat diungkapkan.
Ketidakmampuan membedakan arena “privat” dan “publik” adalah perkara lain yang patut dicatat. Gagapnya stasiun televisi dalam membedakan kedua ranah ini, kerap melahirkan produk-produk tayangan yang sekadar mengandalkan sensasi, bukan substansi. Dramatisasi, bukan edukasi. Wilayah paling pribadi dari seorang individu dirampas atas nama kebebasan pers, keterbukaan berbagi informasi, dan hiburan. Apakah kebanalan semacam itu melanggar kepatutan dan hak yang dimiliki manusia sebagai warga negara—tidak sekalipun menjadi pertimbangan. Yang jelas, media televisi sekonyong-konyong beranjak menjadi polisi moral yang menentukan soal baik dan buruk sebuah perilaku sambil membongkar perihal-perihal yang tak ada urusannya dengan kemaslahatan publik. Infotainmen, Termehek-mehek, dan Uya Emang Kuya adalah contoh dari seunggun tayangan sejenis lainnya yang kami pandang ikut bertanggung jawab merusak keadaban publik.
Perbincangan tentang paras masa depan Indonesia adalah perbincangan tentang bagaimana anak-anak belajar dan mendulang pengalaman mereka di hari ini. Tayangan yang sarat dengan kekerasan—verbal maupun nonverbal—telanjur dianggap sebagai perihal lumrah dan menciptakan sejenis habituasi (pembiasaan) baru dalam hubungan antarmanusia. Hal itu dapat dengan mudah disimak dalam berbagai tayangan berita yang sejak di menit-menit pertama lazim menyuguhkan adegan-adegan kekerasan secara telanjang. Yang tak kalah mengenaskan dapat ditemukan dalam berbagai tayangan fiksi seperti sinetron, film kartun yang mengilustrasikan kekerasan, dan berbagai film laga yang ditayangkan pada jam ketika anak-anak masih menyaksikan tayangan televisi. Tayangan yang sehat dan mencerdaskan bagi anak-anak adalah kemestian yang wajib dipenuhi oleh semua stasiun televisi. Sebagai tanggung jawab dan tekad yang membatu untuk memastikan paras Indonesia yang bersemi tumbuh di masa depan tanpa benih-benih kekerasan.
Televisi adalah benda yang netral. Di tangan yang salah, ia bisa jahat sejahat-jahatnya. Pun bisa baik sebaik-baiknya, di tangan yang benar. Mengingat kekuatan daya raih dan bujuknya, harusnya dijadikan kendaraan strategis dalam membangun keadaban masyarakat Indonesia ke depan. Bahwa televisi janganlah melulu digunakan untuk membujuk penonton menjadi konsumtif, membiasakan kekerasan, mempromosikan pemaknaan religius yang dangkal, atau bahkan sekadar arena kepentingan politik banal. Kami percaya, kesadaran pelaku media—terlebih negara—yang baik terhadap peran positif yang bisa dimainkan televisi, akan membuat cerita lain dari kepengapan yang membekap kita di hari-hari ini.
Komentar
Posting Komentar
Mo Komentar Disini Bos,,,